SERANG – Keberadaan industri di Banten dinilai belum memprioritaskan tenaga lokal. Hal itu menjadi salah satu penyebab angka pengangguran masyarakat Banten masih tergolong tinggi.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Serikat Pekerja Nasional (SPN) Provinsi Banten Ahmad Saukani mengatakan, selama ini investor sangat mudah mendapatkan izin usaha di sejumlah tempat di Banten. Namun, kemudahan tidak dibarengi dengan pengawasan perekrutan tenaga kerjanya.
“Kami ingin memastikan apabila kedatangan investor itu membawa dampak positif terhadap pengangguran. Berdasarkan informasi data dari kedinasan, kayaknya belum, selalu menyerap tenaga negara asal pengusahanya,” ujarnya, ditemui seusai menghadiri Rapat Kerja Daerah (Rakerda) DPD SPN Provinsi Banten di Hotel Ratu, Kota Serang, Sabtu (7/10).
Menurutnya, SPN akan terus berusaha melakukan komunikasi agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten terus merespons masalah tersebut sampai tenaga lokal yang terkena pemberhentian hubungan kerja (PHK-red) oleh perusahaan dan yang sulit mencari pekerjaan bisa terakomodasi oleh sejumlah pabrik yang dibangun di wilayahnya masing-masing. “Jadi, tetap kita harus menyuarakan itu, sampai pemerintah merespons dan punya sistem tentang bagaimana cara mengawasi perusahan-perusahaan,” katanya.
“Di Banten banyak perusahaan, perluasan industri. Perusahaan banyak buka, tapi tidak menyerap tenaga kerja lokal,” sambung Saukani.
Selain pemutusan kerja yang menjadi sorotan, lanjut dia, ternyata upah di Indonesia pun selalu menjadi permasalahan tersendiri karena masih menetapkan upah minimum, bukan upah yang layak. Sedangkan upah layak itu dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Upah yang layak itu sejatinya bisa memberikan angin segar bagi buruh.
“Indonesia kalau dikatakan terkait upah memang belum layak karena mengacu pada upah minimum,” ujarnya.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) SPN Iwan Kumawan mengatakan, melihat persolan keseluruhan secara nasional, pihaknya masih melihat ada sejumlah perusahaan yang menggaji tidak sesuai dengan upah minimum kabupaten (UMK) dan atau upah minimum rata-rata (UMR).
“Personal UMK dan UMR ini menjadi poin yang terus menjadi bahan perjuangan SPN ketika melakukan komunikasi dengan pemangku kebijakan,” katanya.
Iwan menjelaskan, masalah PHK di Indonesia juga sering terjadi, langkah SPN terus mendorong dan menekan pemerintah agar membuat sistem skala kerja bagi karyawan. “PHK itu disebabkan oleh berbagai macam hal, yang menjadi kisruh sentral adalah PHK,” katanya.
“Nah, PHK ada yang memang karena pabriknya betul-betul tutup, ada juga karena hal lain. Kita sudah pernah coba investigasi, pabrik tutup itu disebabkan terjadinya miss management,” tandasnya. (Fauzan D/RBG)