Hari ini, kata literasi telah sangat akrab di tengah-tengah kita. Bersama padanan kata yang lainnya, kata tersebut telah turut mewarnai dunia keseharian, dibincangkan melalui diskusi-diskusi, pesan singkat di Whatsapp, status Facebook, Twitter bahkan menginspirasi gerakan-gerakan. Kita barangkali telah mendengar frasa “kampung literasi”, “media literasi”, “literasi sains”, “literasi informasi” dan lain-lain. Tentu saja, yang paling kerap frekuensinya adalah frasa “gerakan literasi”. Frasa yang terakhir ini bahkan telah menjadi program pemerintah seperti Gerakan Literasi Sekolah maupun yang lebih luas lagi yakni Gerakan Nasional Literasi.
Lalu, apa definisi literasi? Pada beberapa referensi tidak ada definisi yang ajek. Saya tidak berhasil menemukan definisi tersebut pada KBBI maupun tesaurus. Pada Tesaurus Alfabetis Pusat Bahasa (Mizan, Oktober 2009) misalnya, saya hanya menemukan tiga kata yang mendekati, yakni “literal”, “literatur” dan “literer”.
Niduparas Erlang, penulis asal Banten pun pernah menuliskan keresahannya mengenai hal tersebut. Pada akun Facebook-nya, Nidu menulis: “Kampanye literasi semakin hari semakin marak dan menggairahkan. Banyak tempat telah menjadi sasaran gerakan ini. Menarik juga. Dan seiring bertumbuh-ramainya kampanye literasi ini, kata “literasi” pun mengalami banyak sekali bentukan, variasi, atau dipadankan dengan kata lain sebelum atau setelahnya. Ada “literasi korupsi”, “literasi kuliner”, “festival literasi”, “klinik literasi”, “gerobak literasi”, “literasi membaca”, “literasi menulis”, dan sebagainya. Saya jadi agak bertanya: “apakah makna literasi sebenarnya?” (Niduparas Erlang, pada akun facebook Niduparas Erlang, 18 Oktober 2016 pukul 10.40 WIB)
Ketidakajegan definisi itu ditengahi secara bijak oleh pegiat kebudayaan, penulis, pendiri Rumah Dunia dan saat ini menjadi ketua Dewan Perpustakaan Provinsi Banten, Gol A Gong. Seolah menenangkan keresahan Nidu, pada akun Facebook-nya, Gol A Gong menulis: “Literasi adalah daya juang untuk mengubah kualitas hidup menjadi lebih baik dengan membaca dan menulis. Sebagai orang cacat—tangan kiri saya diamputasi pada usia kelas 5 SD, 1974—dari nobody to somebody. Saya merasakan betul manfaat literasi.” (Gol A Gong, pada akun Facebook Golagong New, 20 Oktober 2016 pukul 18:28 WIB).
Masinikeun definisi literasi mungkin menjadi sesuatu yang belum mendesak saat ini. Derajatnya mungkin setingkat dengan belum jelasnya data dan angka minat baca masyarakat Indonesia, yang sering dikutip pada makalah, diktat atau bahkan proposal. Yang jelas, literasi telah menjadi istilah yang makin hari makin meluas, yang apabila kita tarik benang merahnya merujuk pada kompetensi yang melampaui (beyond) kemampuan membaca dan menulis.
Pseudo-literasi dan Krisis Teladan
Yang perlu mendapat perhatian saat ini, menurut saya, adalah munculnya pseudo-literasi. Pseudo-literasi merupakan istilah untuk para pegiat/aktivis literasi palsu alias gadungan atau yang mendewakan keberhasilan semu dari gerakan literasi. Istilah tersebut dimunculkan oleh M. Iqbal Dawami pada buku Pseudo-literasi: Menyingkap Sisi Lain Dunia Literasi yang ditulisnya pada 2017 ini (Penerbit Maghza).
Pada esai berjudul Pegiat Literasi yang Iliterasi (halaman 39) Iqbal menulis: “Saya sering melihat para aktivis literasi mengampanyekan untuk membaca, tetapi dirinya tidak membaca.” (Firman Venayaksa (Ketua FTBM Pusat) mengoreksi “iliterasi” yang digunakan Iqbal yang semestinya ditulis “aliterasi” untuk merujuk pada deskripsi tentang orang yang bisa membaca tetapi tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Kalimat pembuka pada esai yang ditulis penulis asal Bojong, Kabupaten Pandeglang, yang kini menetap di Pati, Jawa Tengah itu terang membuat kita terkejut. Bagaimana mungkin kampanye membaca dan menulis bisa dilakukan oleh orang yang tidak membaca dan menulis? Atau setidaknya, yang tidak menjadikan membaca dan menulis sebagai bagian tak terpisahkan dari kesehariannya? Ironis!
Kita memang masih miskin teladan hampir di segala aspek. Di dunia literasi sendiri, hampir setiap gerakan literasi kehilangan figur yang bisa dicontoh. Kampanye gemar membaca, mengutip A.S. Laksana, masih terlihat seperti perayaan tujuh belas Agustus, dengan tujuan kami telah menjalankan anjuran untuk memasyarakatkan budaya membaca (Dawami, 2017:44).
Saya se-mazhab dengan Iqbal Dawami tentang keringnya teladan dalam gerakan literasi di Indonesia. Kita kerap menjumpai para pegiat literasi yang memamerkan kegiatan di Taman Bacaan Masyarakat miliknya di media sosial. Mereka memamerkan foto-foto kegiatan di Facebook, Twitter, Instagram maupun di grup Whatsapp yang menampilkan anak-anak yang sedang membaca buku atau menampilkan pose salam literasi (ibu jari dan telunjuk diacungkan membentuk huruf L). Lalu dengan semena-mena, pegiat itu mengklaim TBM-nya telah berhasil, atau memberi impresi demikian. Sementara diri mereka sendiri, amat jarang kita temukan melaporkan aktivitas literasi berupa laporan hasil baca dan yang semacamnya yang memungkinkan hal tersebut diteladani para pegiat literasi yang lainnya.
Krisis keteladanan pun merambah institusi formal. Lihatlah program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang sedang digulirkan pemerintah. Para siswa diwajibkan membaca saban pagi minimal selama 15 menit. Mengapa hanya siswa? Padahal, yang ada di sekolah bukan hanya siswa, tetapi ada pula guru, staf dan kepala sekolah. Apakah mereka turut pula membaca? Sejauh ini, belum ada karya tulis dari guru yang dihasilkan dan dipublikasikan sebagai produk dari program GLS.
Makin merangkak ke atas, kita akan menemukan lebih banyak hal yang janggal dan patut kita pertanyakan. Pengambil kebijakan di bidang literasi, dalam hal ini Kemendikbud dan instansi turunannya, apakah di lingkungan tersebut membaca dan menulis sudah dibudayakan? Di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan tingkat provinsi sampai kabupaten, sudahkah membaca dan menulis menjadi tradisi? Jika belum, berarti gerakan yang sejauh ini sudah dilakukan merupakan gerakan yang tidak begitu penting dan kurang bermanfaat sehingga logika yang terbangun mungkin seperti ini: membaca dan menulis penting bagi orang lain tetapi tidak bagi saya (2017:39-45). Ini lebih dari sekadar mengerikan!
Kegiatan dan gerakan literasi, mungkin baru seremonial belaka. Belum menyentuh dan menjadi kultur, bahwa “kelakuan” lebih penting daripada “pengakuan”. Masyarakat literasi (sebutan saya untuk pegiat literasi) masih senang mendapat pengakuan sebagai pegiat melalui foto-foto yang dibagikan, daripada menjadi teladan dengan kelakuannya sebagai orang yang dekat dengan aktivitas literasi. Padahal efek yang ditimbulkan dari keteladanan jauh lebih dalam dari sekadar ingin mendapatkan pengakuan.
Mudah-mudahan ini menjadi pengingat bagi kita semua.
Atih Ardiansyah, Direktur Eksekutif Rafe’i Ali Institute dan Pendiri TBM Indung