Setia sepertinya menjadi kata yang akrab dalam kamus hidup Minah (45) bukan nama sebenarnya. Kesetiaan seperti apa yang dihadirkan Minah? Begini ceritanya.
Minah pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga di salah satu rumah mandor bangunan yang kaya raya. Pekerjaan ini dijalani Minah karena terpaksa. Ia harus menghidupi dirinya dan anak semata wayangnya, Udin (17), bukan nama sebenarnya. Sang suami pergi entah kemana bersama istri mudanya. Oh kejamnya dunia.
“Saya masih ingat betul kejadian yang menyakitkan dalam rumah tangga. Saya harus merelakan suami saya dan harus mulai mencari nafkah sendiri untuk bertahan hidup. Jadi pembantu aja saya masih bersyukur karena masih bisa menghasilkan uang sendiri,” Minah mulai membuka kisah hidupnya.
Tiga bulan menjadi pembantu, secara tidak sadar Minah diperhatikan sang mandor. Sebut saja dia Dadang (79), bukan nama sebenarnya. Lelaki yang sudah beristri itu ternyata menyukai Minah. Lambat-laun Dadang mendekati Minah saat jam-jam kerja menjadi pembantu.
“Awalnya sih saya tidak sadar dan juga tahu diri kalau dia itu adalah tuan saya. Jadi mana mungkin saya meladeninya,” akunya.
Namun, meski berkali-kali ditolak Minah, sang majikan rupanya tidak menyerah justru semakin penasaran. Dilihat secara fisik, Minah yang memiliki tinggi sekira 144 cm ini, selalu menjadi perhatian para lelaki karena ia pintar berdandan.
“Ya Mas, namanya juga perempuan wajar dong kalau dandan. Saya pun nggak menutup diri kalau ada lelaki yang serius dengan saya. Karena sebenarnya kerja begini (pembantu-red) itu capek. Kalau ada lelaki yang mau dengan saya dan mau menafkahi ya kenapa tidak?” terang Minah sambil senyum mengingat masa lalunya.
Perlahan, akhirnya Minah pun luluh dengan usaha sang majikan yang menurutnya serius dan mau menikahinya. Perbedaan umur hampir dua kali lipat pun bukan menjadi masalah. Baginya, yang terpenting Dadang mau bertanggung jawab dan menafkahi.
“Dengan keadaan saya yang seperti ini, beda umur tidak masalah. Yang penting kita bisa hidup berkeluarga dan dinafkahi oleh suami,” tegas Minah.
Meski menerima Dadang, Minah pun sadar bahwa keputusannya ini akan menimbulkan masalah. Mengingat Dadang sudah memiliki istri dan anak. Namun keduanya mengabaikan masalah yang akan timbul dan tetap melanjutkan hingga menikah siri.
Bulan-bulan setelah menikah siri, hubungan Dadang dan Minah masih belum diketahui keluarga Dadang. Seperti pepatah mengatakan, sepintar-pintarnya menyimpan bangkai toh akan ketahuan juga karena baunya.
Baru genap lima bulan menikah siri, akhirnya istri pertama Dadang pun mengetahui tentang perselingkuhan suami dengan pembantunya. Dadang pun bercerai dengan istri pertama dan diusir bersama Minah sang istri sirinya.
“Sebagai wanita saya merasa tidak berharga karena telah dibutakan oleh cinta dan berada di jalan yang salah. Tapi nasi sudah menjadi bubur dan saya harus menerima,” Minah pasrah.
Setelah diusir, Minah dan Dadang memutuskan hidup di rumah sewaan. Beruntungnya Dadang diusir dengan membawa bekal harta. Kemudian digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
“Ya namanya juga hidup ada aja kebutuhan sehari-hari yang harus dibeli. Sedikit-sedikit ya akhirnya habis juga. Ditambah lagi suami saya nggak kerja dan cuma mengandalkan harta yang ada. Lama-kelamaan ya habis juga dan susah,” keluhnya.
Agar hartanya tidak habis dimakan, Dadang pun kemudian membeli kerbau sebagai tabungan. Dadang kemudian menghabiskan waktunya untuk mengurusi kerbau miliknya.
Setelah diusir, kesetiaan Minah kepada Dadang kembali diuji dengan kondisi Dadang yang semakin menua dan sakit akibat jatuh dari kerbau miliknya saat ia menungganginya. Akibatnya, Dadang pun tidak bisa berjalan dan hanya berbaring di kasur.
Dengan kondisi Dadang yang tak kunjung sembuh, Minah pun mulai bingung dan kehabisan uang belanja. “Jangankan buat bayar sewa kontrakan, buat makan aja kadang hasil belas kasihan tetangga,” katanya.
Setelah tiga bulan tidak sanggup bayar sewa, Minah dan Dadang yang sakit terpaksa diusir dan pergi dari kontrakan. Semenjak itu, Minah kemudian hidup di kolong jembatan bersama sang suami yang terbujur sakit.
“Mau tidak mau saya harus menerima keadaan yang begini. Saya tidak tega kalau harus meninggalkan suami saya yang tidak berdaya. Mungkin ini cara saya berbakti kepada suami,” terangnya.
Beruntungnya, setelah terlantar lima bulan di bawah kolong jembatan, Minah dan Dadang dibawa ke Balai Perlindungan Sosial untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. “Ya beruntung mas, meski suami saya tidak kerja tapi kita masih bisa makan dan numpang hidup di sini,” tuturnya.
Dalam kesehariannya, kini Minah merawat sang Suami yang hanya bisa berbaring karena penyakit komplikasinya. Kesetiannya kembali diuji ketika berada di lingkungan wisma dengan orang-orang yang tidak suka padanya.
“Kalau bukan karena suami, mungkin saya udah kabur karena nggak betah dengan orang-orang disini. Tapi siapa lagi mau mengurus suami saya kalau bukan saya sendiri? Karena anak-anak kita pun jauh dan sudah tidak mau tahu lagi dengan kondisi bapaknya,” pungkas Minah. (Wivy-Zetizen/Radar Banten)