KASUS korupsi proyek e-KTP akan menyeret tersangka baru. Sejauh ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru menetapkan dua tersangka dan kini menjadi terdakwa. Yakni, mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman serta anak buahnya, Sugiharto.
Ketua KPK Agus Rahardjo memberikan sinyal bakal ada tersangka anyar dalam proyek senilai Rp 5,2 triliun itu. Penetapan tersangka baru hampir pasti dilakukan lantaran kerugian negara cukup besar. Yakni, sekitar Rp 2,3 triliun.
“Sebentar lagi mungkin ada gelar (perkara baru). Ada nambah orang (tersangka, Red),” kata Agus di gedung KPK, Jakarta, kemarin (13/3), dilansir JawaPos.com.
Informasi yang dihimpun Jawa Pos, tersangka baru tersebut berasal dari kluster korporasi yang menjadi rekanan proyek e-KTP. Dia diduga memiliki peran sentral dalam rangkaian peristiwa korupsi berjamaah tersebut. Termasuk membagikan fee kepada sejumlah anggota DPR.
KPK harus bergerak cepat. Sebab, dikhawatirkan nama-nama besar yang terseret berupaya menghilangkan bukti materiil dan saksi kunci. Menurut mantan anggota Komisi III DPR Djoko Edhi Abdurahman, pengungkapan nama besar tanpa bukti materiil bakal sia-sia. Sebab, hal tersebut bakal dengan mudah terbantahkan.
“Tindak pidana korupsi adalah kejahatan tanpa korban. Sama dengan narkoba, pelaku saling kenal dan sepakat melakukan kejahatan. Kalau cuma narasi, sulit dibuktikan,” ujar Edhi kepada Jawa Pos kemarin.
Menurut dia, saksi dan berkas perkara yang terlalu banyak membuktikan KPK memiliki bukti materiil yang minim. Total ada 24.000 lembar berkas perkara dan 280 saksi yang diboyong penuntut umum KPK ke pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). “Padahal, sidang tidak boleh lebih dari enam bulan,” kata mantan anggota Fraksi PAN itu.
Edhi khawatir ujung pengusutan kasus e-KTP berhenti pada dua terdakwa saja. Yakni, Irman dan Sugiharto. “Kalau (hanya) narasi yang mau digunakan, ketua KPK dituduh Gamawan Fauzi terlibat karena dia (Agus Rahardjo) yang pimpin lelangnya (e-KTP 2011-2012),” terangnya.
Aktivis Indonesia Legal Roundtable (ILR) Natosmal Oemar Erwin mengungkapkan, dakwaan e-KTP yang mengungkap sejumlah nama besar memang belum final. Karena itu, perlu diuji di pengadilan untuk membuktikan kebenaran secara materiil.
“Soal bantahan itu hak setiap orang, namun ini dalam konteks proses praperadilan yang independen,” tuturnya.
Erwin menuturkan, yang mesti dilakukan KPK adalah memastikan saksi kunci yang akan menjerat nama-nama besar tidak menghilang. Sebab, informasinya, saat ini beberapa saksi kunci telah menetap di luar negeri untuk menghilangkan jejak. “Harus bisa membuka siapa jaringan aktor-aktor yang terlibat untuk menghindari upaya-upaya memotong kasus ini,” katanya.
Sementara itu, Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menyatakan, penyebutan nama Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dan sejumlah kader lainnya dalam kasus korupsi e-KTP mengganggu strategi pemenangan pemilu. Apalagi, masih ada pelaksanaan pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019 yang dihadapi Golkar.
Golkar disebut dalam dakwaan menerima dana Rp 150 miliar dari proyek e-KTP. Untuk itu, partai beringin akan melakukan langkah hukum.
“DPP telah menugaskan Ketua Bidang Hukum dan HAM Rudi Alfonso untuk mengambil langkah-langkah terkait pencemaran nama baik. Saya kira (dakwaan) itu tidak benar,” ujarnya. (tyo/bay/agm/c10/ca/JPG)