SERANG – Polemik terkait penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat (Pekat) yang akan direvisi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) disikapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten dengan mengirimkan enam rekomendasi.
Rekomendasi hasil musyawarah pengurus MUI Banten dengan para tokoh dan ulama se-Banten akan disampaikan ke pemerintah pusat, baik itu ke Kemendagri maupun Istana Negara untuk mempertahankan Perda Nomor 2 Tahun 2010. Ketua Bidang Komunikasi Data dan Informasi Zainal Abidin Sujai menegaskan, enam rekomendasi itu sebagai bentuk dukungan ulama Banten terhadap pelaksanaan Perda Nomor 2.
Keenam rekomendasi MUI Banten, yaitu proses hukum pelanggar perda; memberikan pendidikan kesadaran beragama dari tokoh agama dan ulama kepada masyarakat; tetap mempertahankan Perda Pekat; Satpol PP tetap menegakkan Perda Nomor 2; menyampaikan surat rekomendasi ke Presiden dan Mendagri terkait larangan rumah makan beroperasi di siang hari; dan MUI beserta tokoh agama mengadakan deklarasi penolakan komunis, ISIS, dan gerakan radikalisme lainnya.
Kesepakatan dari hasil musyawarah pengurus MUI dengan para tokoh Banten itu menyikapi polemik razia rumah makan pada bulan Ramadan yang menjadi polemik saat ini di masyarakat. Oleh karenanya, dari enam poin yang disepakati ini akan ditindaklanjuti ke pemerintah pusat. “Untuk memberikan efek jera terhadap para pelanggar perda pekat, MUI sepakat para pelanggar perda diproses hukum,” kata Ketua Bidang Komunikasi Data dan Informasi MUI Banten Zainal Abidin Sujai usai musyawarah, kemarin.
Terkait rencana Kemendagri merevisi Perda Nomor 2, kata Zainal, MUI Banten mengharapkan rencana revisi itu tidak mengubah substansi perda untuk menegakkan syariat Islam. “Kalau revisinya untuk memperbolehkan pengusaha rumah makan beroperasi di siang hari selama Ramadan, itu akan kami tolak,” tegasnya.
Tokoh masyarakat Banten Embay Mulya Syarif juga menyayangkan sikap Mendagri yang menilai bahwa Perda Pekat di Kota Serang sebagai bentuk intoleransi. Menurutnya, secara kasatmata, toleransi masyarakat Kota Serang dan Banten pada umumnya kental dan Perda Nomor 2 justru sudah sangat toleran. “Intoleransi di Kota Serang tidak benar. Contohnya, alun-alun saja depannya gereja. Coba lihat di daerah lain di Indonesia, kebanyakan alun-alun itu bersandingan dengan masjid,” katanya.
Menurut Embay, di Kota Serang pusat pendidikan Islam atau Islamic Center juga berdampingan dengan Gereja Katolik. Ketika ada kegiatan di gereja, jemaat boleh parkir di Masjid Agung Serang. “Jadi, jika di Kota Serang disebutkan intoleran itu tidak benar. Di mana letak intoleransinya?” tegasnya.
Saat dikonfirmasi, Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Sumarsono mengatakan, sesuai kajian Kemendagri terhadap Perda Nomor 2, pihaknya menyimpulkan sejumlah pasal dalam perda harus direvisi. Ada tiga pasal dalam regulasi tersebut yang perlu disempurnakan, yakni Pasal 7 ayat (2) dan (3), Pasal 10 ayat (1) dan (4), seharusnya ayat (1) dan (3), tetapi penomorannya salah, serta Pasal 22. “Ini revisi terbatas. Bukan berarti pembatalan seluruhnnya. Namun, hanya pasal per pasal saja yang disempurnakan klausulnya sehingga lebih relevan,” katanya.
Menurut Sumarsono, Pasal 7 ayat (2) dan (3), tidak sinkron dengan ayat (1), (3), dan (4) dalam pasal tersebut. Pasal 7 dalam perda tersebut juga dinilai bertentangan dengan Perpres 74 Tahun 2013 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Oleh karena itu, kedua ayat tersebut perlu direvisi. Kemudian dalam Pasal 10 ayat (1) dan (4), selain penomorannya salah, Sumarsono menyatakan, aturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2011 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Dasar 1945. Sebaiknya perda itu tak menuliskan klausul larangan kepada seseorang. “Kalau terkait bulan Ramadan ini, jangan melarang, tapi membatasi. Misalnya, boleh buka pada waktu tertentu, jelaskan saja dalam perda tersebut kapan waktunya warung makan boleh buka. Kalau melarang, ini masuknya jadi diskriminatif karena tak membolehkan orang berusaha,” jelasnya. (Deni S/Radar Banten)