SERANG – Kehadiran cyber jurnalism alias jurnalisme maya merupakan kebutuhan mendesak untuk berbagi informasi dalam cakupan yang lebih luas secara sebaran. Di samping itu, jurnalisme maya juga menjanjikan peluang untuk lebih massif dan terhindar dari bentuk intervensi seperti pemberedelan.
Namun demikian, salah kaprah seringkali terjadi manakala jurnalisme maya hanya disederhanakan untuk mengejar kecepatan tayang (real time). Padahal, bagaimana pun, yang disebut karya jurnalistik selalu punya standar yang jelas dalam asas keberimbangan berita. Kecepatan bukan lagi segalanya manakala keberimbangan terabaikan.
Hal ini mencuat dalam diskusi bertajuk Cyber Jurnalism Menuju Era Media Digital yang diselenggarakan paguyuban Banten Cyber Jurnalism di Aula Serba Guna, DPRD Provinsi Banten, Curug, Kota Serang, Kamis (20/11/2014).
Salah satu pemateri diskusi ini, Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pusat Mustakim mengemukakan, di Indonesia masih minim pemahaman mengenai hukum dalam dunia digital (cyber law). “Maka dari itu, jurnalistik apa pun medianya harus taat etika jurnalistik. Pribadi saya tetap menganggap kecepatan tetap harus memperhatikan keberimbangan berita,” jelasnya.
Selain itu, dia menyoroti sisi strategis internet yang punya persebaran berita lebih luas lagi. “Internet persebarannya sangat luas dan cepat membuat ingatan orang lebih panjang. Proses verifikasi harus ada mengingat pembaca media online lebih luas. Pada dasarnya media apa pun bahwa produk jurnalistik harus terkonfirmasi,” katanya.
Sementara itu, Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Banten AKBP Dadang Herli terkait pemberitaan media online menganggap harus ada pembaruan produk hukum mengenai status media online. “Asas restoratif justice dalam hal ini perlu dilakukan agar kekakuan hukum dalam KUHP bisa terjembatani. Karena bagaimana pun polisi bukan alat yang berpegang pada KUHP tapi banyak petimbangan lain yang menentukan suatu kasus dilanjutkan atautidak termasuk dalam pemberitaan online,” terangnya. (Wahyudin)