CILEGON – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Cilegon akhirnya angkat bicara terkait dengan adanya tudingan dari Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Cilegon, Erwin Harahap perihal legalitas keanggotaan Apindo. Erwin yang sebelumnya menuding bahwa Apindo Kota Cilegon hanya beranggotakan buruh dan bukan kalangan pengusaha, dipandang tidak pantas untuk menyatakan keberatannya atas Surat Keputusan (SK) Gubernur Banten nomor 561/Kep.345-Huk/2015 tentang Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) Cilegon tahun 2015.
Belakangan, Sekretaris Apindo Kota Cilegon Andi Seto mengaku cukup menyesalkan atas pernyataan itu. Ia mengatakan, kehadiran Apindo sendiri adalah sebagai organisasi yang ditunjuk perundang undangan untuk duduk di dalam lembaga kerjasama tripartit seperti soal perundingan dengan buruh maupun soal pengupahan. “Juga sesuai dengan surat mandat dari Kadin, bahwa urusan tripartit perburuhan itu adalah kewenangan Apindo. Dan keanggotaan di Apindo itu pun juga mendapatkan mandat dari perusahaan, jadi tidak harus pengusahanya langsung,” ujarnya kepada radarbanten.com, Jumat (21/8/2015).
Andi juga menambahkan, kendati hanya beranggotakan sekira 87 perusahaan, namun suara Apindo menurutnya sudah mewakili suara perusahaan lainnya di Cilegon, mengingat sebagian anggota Apindo berasal dari perusahan besar di Kota Cilegon. “Yang pasti, perusahaan yang karyawannya banyak di Cilegon ini sebagian besar perusahaannya sudah menjadi anggota Apindo. Jadi jangan menganggap remeh 87 (perusahaan), karena yang 87 ini adalah (perusahaan) kelas kakap semua. Jadi Apindo ini sangat representatif sekali, apalagi kalau bicara upah sektoral,” katanya.
Sementara itu, Ketua Apindo Kota Cilegon, Isa Muhammad menambahkan, pihaknya juga mempertanyakan adanya surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ketua Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit Kota Cilegon Tb Iman Ariyadi sehingga berujung pada terbitnya SK Gubernur itu. Menurutnya, sesuai dengan ketentuan dalam Permenakertrans nomor 7 tahun 2013 tentang Upah Minimum, Ketua LKS Tripartit tidak memiliki peranan untuk menerbitkan surat rekomendasi, terlebih mediasi antara serikat buruh dan asosiasi sektoral pada saat itu tak menemukan titik temu.
“Memang benar jabatan Ketua LKS Tripartit itu adalah exofficio Walikota. Tapi kami sepakat, tidak ada aturan yang menyebutkan keputusan itu boleh diambil alih oleh Ketua LKS Tripartit untuk dijadikan rekomendasi. Apalagi saat itu deadlock, tidak ada kesepakatan,” jelasnya.
Dirinya juga menegaskan, Apindo tidak main main dalam mengambil upaya hukum terhadap SK Gubernur yang ditetapkan pada 15 Juli lalu itu, saat Rano Karno masih berstatus Plt. “Intinya kita tidak menolak UMSK. Tapi kami meminta agar prosedurnya itu dijalankan sesuai dengan amanat Permenaker itu,” tandasnya. (Devi Krisna)