Menurut Suhaimi, dalam persentase jumlah total ekspor dari bidang nonmigas, nilai ekspor alas kaki tersebut porsinya setara dengan 26,5 persen total ekspor nonmigas yang mencapai USD$6,17 miliar. Bahkan, lanjut Suhaimi, produk alas kaki pun termasuk ke dalam 12 bahan ekspor yang menyumbang pemasukan dari luar negeri yang cukup besar.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, kendati nilai ekspor alas kaki cukup besar, namun bukan berarti industri tersebut lepas dari persoalan-persoalan dunia kerja. Beberapa persoalan yang sering dihadapi oleh industri alas kaki di Banten, misalnya masalah pengupahan, mudah terjadi aksi anarkis oleh kalangan pekerja atau buruh dan yang terakhir ketidakpastian sikap pemerintah daerah.
Padahal menurut Eddy, sikap pemerintah tersebut bisa membuat investor tidak nyaman untuk berinvestasi di Provinsi Banten. “Menarik investasi itu gampang kalau Banten bisa beri kenyamanan, maka investor akan masuk ke sini. Jika tidak, akan cari ke Jatim atau Jateng,” ungkap Eddy.
Eddy melanjutkan, bagi para pelaku usaha, untuk melakukan investasi di suatu daerah, ada beberapa hal yang harus sipertimbangkan. Selain populasi penduduknya banyak, harus ada pelabuhan atau akses ke pelabuhan dan ada dukungan pemerintah terkait keamanan dan kepastian bisnis.
“Hari ini banyak pabrik di Banten bukan karena banyak kemudahan bisnis di Banten, tetapi karena awalnya Banten yang dekat dengan pelabuhan dan Jakarta,” pungkasnya. (Bayu)
Menurut Suhaimi, dalam persentase jumlah total ekspor dari bidang nonmigas, nilai ekspor alas kaki tersebut porsinya setara dengan 26,5 persen total ekspor nonmigas yang mencapai USD$6,17 miliar. Bahkan, lanjut Suhaimi, produk alas kaki pun termasuk ke dalam 12 bahan ekspor yang menyumbang pemasukan dari luar negeri yang cukup besar.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, kendati nilai ekspor alas kaki cukup besar, namun bukan berarti industri tersebut lepas dari persoalan-persoalan dunia kerja. Beberapa persoalan yang sering dihadapi oleh industri alas kaki di Banten, misalnya masalah pengupahan, mudah terjadi aksi anarkis oleh kalangan pekerja atau buruh dan yang terakhir ketidakpastian sikap pemerintah daerah.
Padahal menurut Eddy, sikap pemerintah tersebut bisa membuat investor tidak nyaman untuk berinvestasi di Provinsi Banten. “Menarik investasi itu gampang kalau Banten bisa beri kenyamanan, maka investor akan masuk ke sini. Jika tidak, akan cari ke Jatim atau Jateng,” ungkap Eddy.
Eddy melanjutkan, bagi para pelaku usaha, untuk melakukan investasi di suatu daerah, ada beberapa hal yang harus sipertimbangkan. Selain populasi penduduknya banyak, harus ada pelabuhan atau akses ke pelabuhan dan ada dukungan pemerintah terkait keamanan dan kepastian bisnis.
“Hari ini banyak pabrik di Banten bukan karena banyak kemudahan bisnis di Banten, tetapi karena awalnya Banten yang dekat dengan pelabuhan dan Jakarta,” pungkasnya. (Bayu)
Menurut Suhaimi, dalam persentase jumlah total ekspor dari bidang nonmigas, nilai ekspor alas kaki tersebut porsinya setara dengan 26,5 persen total ekspor nonmigas yang mencapai USD$6,17 miliar. Bahkan, lanjut Suhaimi, produk alas kaki pun termasuk ke dalam 12 bahan ekspor yang menyumbang pemasukan dari luar negeri yang cukup besar.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, kendati nilai ekspor alas kaki cukup besar, namun bukan berarti industri tersebut lepas dari persoalan-persoalan dunia kerja. Beberapa persoalan yang sering dihadapi oleh industri alas kaki di Banten, misalnya masalah pengupahan, mudah terjadi aksi anarkis oleh kalangan pekerja atau buruh dan yang terakhir ketidakpastian sikap pemerintah daerah.
Padahal menurut Eddy, sikap pemerintah tersebut bisa membuat investor tidak nyaman untuk berinvestasi di Provinsi Banten. “Menarik investasi itu gampang kalau Banten bisa beri kenyamanan, maka investor akan masuk ke sini. Jika tidak, akan cari ke Jatim atau Jateng,” ungkap Eddy.
Eddy melanjutkan, bagi para pelaku usaha, untuk melakukan investasi di suatu daerah, ada beberapa hal yang harus sipertimbangkan. Selain populasi penduduknya banyak, harus ada pelabuhan atau akses ke pelabuhan dan ada dukungan pemerintah terkait keamanan dan kepastian bisnis.
“Hari ini banyak pabrik di Banten bukan karena banyak kemudahan bisnis di Banten, tetapi karena awalnya Banten yang dekat dengan pelabuhan dan Jakarta,” pungkasnya. (Bayu)
Menurut Suhaimi, dalam persentase jumlah total ekspor dari bidang nonmigas, nilai ekspor alas kaki tersebut porsinya setara dengan 26,5 persen total ekspor nonmigas yang mencapai USD$6,17 miliar. Bahkan, lanjut Suhaimi, produk alas kaki pun termasuk ke dalam 12 bahan ekspor yang menyumbang pemasukan dari luar negeri yang cukup besar.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, kendati nilai ekspor alas kaki cukup besar, namun bukan berarti industri tersebut lepas dari persoalan-persoalan dunia kerja. Beberapa persoalan yang sering dihadapi oleh industri alas kaki di Banten, misalnya masalah pengupahan, mudah terjadi aksi anarkis oleh kalangan pekerja atau buruh dan yang terakhir ketidakpastian sikap pemerintah daerah.
Padahal menurut Eddy, sikap pemerintah tersebut bisa membuat investor tidak nyaman untuk berinvestasi di Provinsi Banten. “Menarik investasi itu gampang kalau Banten bisa beri kenyamanan, maka investor akan masuk ke sini. Jika tidak, akan cari ke Jatim atau Jateng,” ungkap Eddy.
Eddy melanjutkan, bagi para pelaku usaha, untuk melakukan investasi di suatu daerah, ada beberapa hal yang harus sipertimbangkan. Selain populasi penduduknya banyak, harus ada pelabuhan atau akses ke pelabuhan dan ada dukungan pemerintah terkait keamanan dan kepastian bisnis.
“Hari ini banyak pabrik di Banten bukan karena banyak kemudahan bisnis di Banten, tetapi karena awalnya Banten yang dekat dengan pelabuhan dan Jakarta,” pungkasnya. (Bayu)
Menurut Suhaimi, dalam persentase jumlah total ekspor dari bidang nonmigas, nilai ekspor alas kaki tersebut porsinya setara dengan 26,5 persen total ekspor nonmigas yang mencapai USD$6,17 miliar. Bahkan, lanjut Suhaimi, produk alas kaki pun termasuk ke dalam 12 bahan ekspor yang menyumbang pemasukan dari luar negeri yang cukup besar.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, kendati nilai ekspor alas kaki cukup besar, namun bukan berarti industri tersebut lepas dari persoalan-persoalan dunia kerja. Beberapa persoalan yang sering dihadapi oleh industri alas kaki di Banten, misalnya masalah pengupahan, mudah terjadi aksi anarkis oleh kalangan pekerja atau buruh dan yang terakhir ketidakpastian sikap pemerintah daerah.
Padahal menurut Eddy, sikap pemerintah tersebut bisa membuat investor tidak nyaman untuk berinvestasi di Provinsi Banten. “Menarik investasi itu gampang kalau Banten bisa beri kenyamanan, maka investor akan masuk ke sini. Jika tidak, akan cari ke Jatim atau Jateng,” ungkap Eddy.
Eddy melanjutkan, bagi para pelaku usaha, untuk melakukan investasi di suatu daerah, ada beberapa hal yang harus sipertimbangkan. Selain populasi penduduknya banyak, harus ada pelabuhan atau akses ke pelabuhan dan ada dukungan pemerintah terkait keamanan dan kepastian bisnis.
“Hari ini banyak pabrik di Banten bukan karena banyak kemudahan bisnis di Banten, tetapi karena awalnya Banten yang dekat dengan pelabuhan dan Jakarta,” pungkasnya. (Bayu)
Menurut Suhaimi, dalam persentase jumlah total ekspor dari bidang nonmigas, nilai ekspor alas kaki tersebut porsinya setara dengan 26,5 persen total ekspor nonmigas yang mencapai USD$6,17 miliar. Bahkan, lanjut Suhaimi, produk alas kaki pun termasuk ke dalam 12 bahan ekspor yang menyumbang pemasukan dari luar negeri yang cukup besar.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, kendati nilai ekspor alas kaki cukup besar, namun bukan berarti industri tersebut lepas dari persoalan-persoalan dunia kerja. Beberapa persoalan yang sering dihadapi oleh industri alas kaki di Banten, misalnya masalah pengupahan, mudah terjadi aksi anarkis oleh kalangan pekerja atau buruh dan yang terakhir ketidakpastian sikap pemerintah daerah.
Padahal menurut Eddy, sikap pemerintah tersebut bisa membuat investor tidak nyaman untuk berinvestasi di Provinsi Banten. “Menarik investasi itu gampang kalau Banten bisa beri kenyamanan, maka investor akan masuk ke sini. Jika tidak, akan cari ke Jatim atau Jateng,” ungkap Eddy.
Eddy melanjutkan, bagi para pelaku usaha, untuk melakukan investasi di suatu daerah, ada beberapa hal yang harus sipertimbangkan. Selain populasi penduduknya banyak, harus ada pelabuhan atau akses ke pelabuhan dan ada dukungan pemerintah terkait keamanan dan kepastian bisnis.
“Hari ini banyak pabrik di Banten bukan karena banyak kemudahan bisnis di Banten, tetapi karena awalnya Banten yang dekat dengan pelabuhan dan Jakarta,” pungkasnya. (Bayu)
Menurut Suhaimi, dalam persentase jumlah total ekspor dari bidang nonmigas, nilai ekspor alas kaki tersebut porsinya setara dengan 26,5 persen total ekspor nonmigas yang mencapai USD$6,17 miliar. Bahkan, lanjut Suhaimi, produk alas kaki pun termasuk ke dalam 12 bahan ekspor yang menyumbang pemasukan dari luar negeri yang cukup besar.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, kendati nilai ekspor alas kaki cukup besar, namun bukan berarti industri tersebut lepas dari persoalan-persoalan dunia kerja. Beberapa persoalan yang sering dihadapi oleh industri alas kaki di Banten, misalnya masalah pengupahan, mudah terjadi aksi anarkis oleh kalangan pekerja atau buruh dan yang terakhir ketidakpastian sikap pemerintah daerah.
Padahal menurut Eddy, sikap pemerintah tersebut bisa membuat investor tidak nyaman untuk berinvestasi di Provinsi Banten. “Menarik investasi itu gampang kalau Banten bisa beri kenyamanan, maka investor akan masuk ke sini. Jika tidak, akan cari ke Jatim atau Jateng,” ungkap Eddy.
Eddy melanjutkan, bagi para pelaku usaha, untuk melakukan investasi di suatu daerah, ada beberapa hal yang harus sipertimbangkan. Selain populasi penduduknya banyak, harus ada pelabuhan atau akses ke pelabuhan dan ada dukungan pemerintah terkait keamanan dan kepastian bisnis.
“Hari ini banyak pabrik di Banten bukan karena banyak kemudahan bisnis di Banten, tetapi karena awalnya Banten yang dekat dengan pelabuhan dan Jakarta,” pungkasnya. (Bayu)
Menurut Suhaimi, dalam persentase jumlah total ekspor dari bidang nonmigas, nilai ekspor alas kaki tersebut porsinya setara dengan 26,5 persen total ekspor nonmigas yang mencapai USD$6,17 miliar. Bahkan, lanjut Suhaimi, produk alas kaki pun termasuk ke dalam 12 bahan ekspor yang menyumbang pemasukan dari luar negeri yang cukup besar.
Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, kendati nilai ekspor alas kaki cukup besar, namun bukan berarti industri tersebut lepas dari persoalan-persoalan dunia kerja. Beberapa persoalan yang sering dihadapi oleh industri alas kaki di Banten, misalnya masalah pengupahan, mudah terjadi aksi anarkis oleh kalangan pekerja atau buruh dan yang terakhir ketidakpastian sikap pemerintah daerah.
Padahal menurut Eddy, sikap pemerintah tersebut bisa membuat investor tidak nyaman untuk berinvestasi di Provinsi Banten. “Menarik investasi itu gampang kalau Banten bisa beri kenyamanan, maka investor akan masuk ke sini. Jika tidak, akan cari ke Jatim atau Jateng,” ungkap Eddy.
Eddy melanjutkan, bagi para pelaku usaha, untuk melakukan investasi di suatu daerah, ada beberapa hal yang harus sipertimbangkan. Selain populasi penduduknya banyak, harus ada pelabuhan atau akses ke pelabuhan dan ada dukungan pemerintah terkait keamanan dan kepastian bisnis.
“Hari ini banyak pabrik di Banten bukan karena banyak kemudahan bisnis di Banten, tetapi karena awalnya Banten yang dekat dengan pelabuhan dan Jakarta,” pungkasnya. (Bayu)