Menjalani puasa sambil bekerja sering bikin perut cepat lapar. Tak jarang ketika berbuka, ada yang langsung makan besar seperti balas dendam.
Ketika Ramadan selesai, bukannya sehat, tapi bisa-bisa malah jatuh sakit. Dokter spesialis penyakit dalam Prof dr Hans Tandra SpPD-KEMD mengungkapkan, makan dengan porsi cukup banyak saat berbuka sebenarnya boleh.
Namun, ada syaratnya. Yakni, makan dengan perlahan. Tujuannya, enzim pencernaan dari ludah membantu lambung untuk tidak mendadak dibebani kerja berat.
Lalu, diperbanyak sayur dan buah. ”Kalau sudah di atas pukul delapan malam, dibatasi makannya,” ujarnya.
Menurut dia, selama ini ada kebiasaan kurang baik dari pekerja yang bertugas malam. Misalnya, perawat, petugas keamanan, maupun pekerja yang lembur.
Mereka sering makan lagi setelah buka. Artinya, makan di atas pukul 20.00. Porsinya juga besar seperti nasi dan mi goreng. Kebiasaan itu tidak baik untuk tubuh.
Pukul 19.00 ke atas, tubuh sedang melakukan cooling down. Kalau terbiasa makan di atas waktu tersebut, apalagi ditambah kopi, yang terjadi kadar gula, kolesterol, dan berat badan bakal naik.
”Coba cek setelah Lebaran, kalori yang ditimbun banyak,” kata Hans. Kalau masih lapar saat malam, makan porsi kecil saja. Misalnya, roti gandum, buah, dan sayur.
Jika terpaksa pakai nasi, ya porsinya sedikit saja. Sayurnya diperbanyak. Setelah itu, banyak bergerak. Dengan begitu, ada pembakaran pada tubuh.
Dia mencontohkan para perawat yang dinas malam di rumah sakit. Kalau banyak duduk, bawa bekal makan besar, dan tidak bergerak, tubuh bakal tambun.
”Mobile, jangan duduk-duduk. Pekerja malam setelah duduk harus jalan beberapa menit,” ungkapnya. Untuk minuman, selama puasa, tubuh tetap membutuhkan 2 liter air.
Itu setara dengan delapan gelas. Kemudian, pekerja dengan jam kerja normal juga tetap harus menjaga asupan makanan. Saat berbuka, perut kosong tidak boleh mendadak diisi makanan manis.
Menurut Hans, kalimat berbukalah dengan yang manis sering diartikan kurang tepat oleh sebagian orang. Manis itu bukan yang mengandung tinggi gula.
Manis yang benar adalah manis alami. Misalnya, dari buah segar. Buah tersebut lebih tinggi serat, vitamin, mineral, dan antioksidan.
”Manis yang disebut tidak melulu gula. Kalau gula, indeks glikemiknya tinggi,” katanya. Menurut dia, puasa jika dijalankan dengan benar berdampak baik untuk kesehatan.
Sebaliknya, kalau salah, puasa bisa berpotensi menimbulkan penyakit. Karena itu, saat berbuka, dipilih makanan manis dari buah. Sebaiknya, buahnya dipotong-potong.
Jika dijus, seratnya berkurang. ”Cepat diserap jadi kalori,” ujar Hans.
Selain itu, sebaiknya menjauhi menu yang mengiritasi lambung seperti pedas, asam, kafein, dan soda. Selanjutnya, tetap disertai olahraga ringan. Misalnya, bergerak jalan 5–10 menit, sejam setelah selesai makan besar.
Sementara itu, dr Budi Widodo SpPD menambahkan, makanan manis yang tepat saat berbuka adalah kurma. Selain karena sunah Rasul, manis dalam kurma mudah dicerna tubuh.
”Kalau manis makanan lain, itu kompleks. Dibutuhkan waktu untuk dicerna. Jadi, saat perut kosong diisi, malah terasa tidak enak,” kata spesialis penyakit dalam yang berpraktik di National Hospital itu.
Budi mengungkapkan, sebenarnya boleh mengonsumsi makanan manis lain seperti kolak dengan porsi kecil.
Kalau porsinya besar, dampaknya justru tidak baik, terutama bagi penyandang diabetes melitus.
”Kalau makannya ngawur, gula darah tidak terkontrol. Yang punya riwayat diabetes memperberat masalah penyakitnya,” ucapnya.
Dia menyarankan, saat berbuka, sebaiknya tidak langsung menyantap nasi. Bisa makanan lain dengan porsi yang lebih kecil. Setelah salat Magrib, bisa dilanjutkan makan besar.
”Kalau tidak sabar, yang kasihan lambung dan ulu hati bisa nyeri,” katanya. Kalau dilakukan dengan tepat, puasa akan menyehatkan. Bagi orang dengan riwayat mag misalnya.
Sebab, ketika berpuasa, makan lebih teratur. Lalu, pencernaan diistirahatkan sehingga mengembalikan fungsinya. ”Gula darahnya juga terpelihara,” tegasnya. (JPG)