PAGI itu, Supri (34) tahu persis Siti (32), istrinya sedang memerhatikan dari balik kaca jendela yang sudah menjadi bagian dari kebiasaan. Gelagat sang istri tampak risau seperti enggan berpisah, meski Supri sekadar berangkat keluar tak jauh dari rumah.
Maklum, Supri yang bukan nama sebenarnya ini, termasuk tokoh pemuda yang tenar dan begitu dihargai di desanya. Warga Kabupaten Serang itu, paling diandalkan di kecamatan karena suka membantu warga serta piawai dalam memfasilitasi warga miskin di desa untuk mendapat bantuan dari pemerintah.
Sebelum berangkat, Supri berbincang dengan beberapa warga di depan pekarangan rumah. Bahkan, ketua RT/RW sampai perangkat desa sengaja datang ke rumahnya sebelum melaksanakan kegiatan musyawarah dengan warga di balai desa.
“Istri saya tuh terlalu polos dan lugu. Kalau saya pergi ke mana atau diajak siapa, pasti banyak tanya dan suka salah paham,” ungkap Supri saat berbincang dengan Radar Banten sambil menyajikan segelas kopi susu di depan teras rumahnya.
Bak detektif yang sedang melakukan investigasi, pertanyaan Siti segudang dan terkadang tidak masuk akal. Hal itu dipicu Siti yang memang kuper alias kurang pergaulan karena asalnya dari ujung kampung. Tak pernah sekali pun Siti merasakan hingar bingar kota. Makanya, Siti kerap dihantui rasa cemburu akibat kepolosannya. Terlebih, Supri, suaminya memiliki paras rupawan dan proaktif di semua kegiatan para pejabat di desa dan kecamatan.
Siti juga tak kalah caemnya. Tubuhnya langsing, tinggi, putih, serta pakaiannya sopan lengkap dengan jilbab yang religius. Sempurna pokoknya. Ternyata Siti adalah santriwati, anak dari salah satu ulama ternama di desa yang ditemui Supri di pondok pesantren tak jauh dari rumahnya.
Pandangan pertama begitu menggoda. Hasrat Supri dibalas respons positif Siti yang memang tak pernah merasakan berpacaran. Mereka akhirnya setuju menikah muda dan membangun bahtera rumah tangga. Prosesi pernikahan dilaksanakan secara sederhana. Meski begitu, rona kebahagiaan terpancar pada wajah keduanya begitu pula pihak keluarga. Di malam pengantin, Siti sudah menunjukkan gelagat kepolosan.
Di kamar sebagai pengantin baru seharusnya sudah jedar-jedur, Siti malah asyik tiduran di balik balutan gaun pengantin yang masih belum dilepas usai resepsi.
“Saya bilang, yuk Neng. Kode maksudnya. Dia malah nanya balik, hayu ke mana Bang, ini kan sudah malam, waktunya bobo, capek berdiri seharian. Bikin kesal pokoknya,” keluhnya. Waduh, Neng Siti tidak paham nih. Padahal, waktunya piket malam kerja serabutan tuh.
Hari kedua, setelah dijelaskan kedua orangtua atas pengaduan Supri semalam, Siti baru paham dan mulai menjalani aksinya bercengkerama. Meski begitu, Supri harus menguji kesabaran. Sebab Siti sempat ketakutan ketika hendak diterjang kejantanan Supri yang sudah tak tahan ingin mencurahkan keperkasaannya. Supri harus berjuang mati-matian dulu membujuk Siti agar mau diajak begituan yang merupakan kewajiban layaknya pasangan suami istri sah. Supri bak kesetanan ketika Siti menyetujuinya, baru buka dikit langsung joss.
“Oh, akhirnya,” kata Supri menghayati. Aw aw aw, enak kayaknya Mas. “Pastinya,” jawabnya.
Sejak itu, Supri jadi tahu akan sifat Siti yang memang masih ndeso dan cemburuan. Di setiap momen, Siti selalu gagal paham. Dijelaskan juga, bukannya selesai perkara malah makin awut-awutan. Lantaran itu, Supri selalu menanggapi sikap istrinya dengan tertawa.
“Boro-boro pengin marah, saya justru suka ketawa sendiri. Pergi enggak lama juga, pertanyaannya bisa segudang dan suka salah paham. Capek deh,” terangnya.
Kondisi psikologis Siti menjadi-jadi, seperti mudah kaget dan gampang percaya orang yang membuatnya suka marah tak keruan. Padahal, persoalannya sendiri jarang ia mengerti sehingga terkadang membuat privasi Supri terganggu. Boleh dibilang, sifat Siti terbilang katro. Namun, sifat itu pula yang selalu membuat Supri kangen dan tak jenuh lama-lama berada di rumah.
Jika sifat istrinya kumat, Supri cukup mengelus dada dan tak jarang perilaku Siti kerap membuat Supri tertawa terbahak-bahak. Pernah Supri yang memang mempunyai wawasan tinggi, diminta aparatur kecamatan menjadi narasumber kegiatan konseling. Dengan mendapat bayaran tambahan penghasilan, Supri yang memang profesinya hanya relawan, tentu berkah dong. Namun, apa yang terjadi. Siti menolaknya dan malah memaki-maki aparatur desa yang mengajak Supri.
“Ucapan istri begini, ‘ngapain kamu ngajak-ngajak suami gituan (konseling-red). Saya bilang, kan lumayan Mah (manggil istrinya-red) buat nambah belanja, eh istri malah tambah marah. Ternyata, istri gagal paham. Disangkanya konseling itu artinya engkon selingkuh, jadi dipikirnya saya mau selingkuhan. Hadeuh,” papar Supri sambil menepis kening mengenang pengalaman tersebut.
Sampai akhirnya, Siti mulai mengerti pekerjaan suami sehari-hari. Itu pun memakan waktu lama penjelasannya.
Pernah juga, pengalaman Supri ketika hendak menelepon temannya yang tidak bisa nyambung lantaran terkendala jaringan. Maklum, rumah Supri berada di pedalaman perkampungan sehingga sinyalnya sering lep-lepan. Saat ditanya Siti kenapa tidak bisa ditelepon, Supri bilang kalau bahasa operator di telepon bahwa sinyalnya sedang berada di luar jaringan. Tapi, pemahaman Siti lain. Katanya, ‘apa hubungannya menelepon dengan baja ringan.
“Saya bukannya marah, malah ingin ketawalah. Saya bilang, sakarepmulah. Tapi, dibilang begitu istri malah cengengesan dengan mimik wajah kebingungan,’ jelasnya.
Puncaknya, Supri terkenang dengan sikap polos Siti ketika diajak berbelanja keperluan rumah tangga ke mal di Kota Serang menggunakan sepeda motor, hhmmm asoy! Biasanya kan Siti sehari-hari belanja ke pasar tradisional naik ojek. Maksudnya, Supri ingin membuat senang istri. “Sekali-sekali lah,” ujarnya.
Namun, apa yang terjadi? Tak disangka dengan lantangnya Siti melampiaskan unek-unek di tengah-tengah kota dan di pusat perbelanjaan. “Ucapannya begini ‘Yah, memanggil saya, ternyata dunia ini luas ya? Harus sering-sering nih main ke kota’ sambil mengangkat tangannya. Waduh, saya bilang malu-maluin aja. Tapi, sikap istri cuek saja, parah,” ungkap Supri.
Maklum saja, hari itu untuk pertama kalinya Siti menginjak jalanan perkotaan setelah sekian lama hingga perawan terkurung di kampung. Namun, sikap itu pula yang membuat Supri betah di rumah dan tak bisa menahan rasa rindunya kepada Siti. Hal itu dibuktikan Supri yang mampu bertahan menjaga keutuhan rumah tangga hingga sembilan tahun lamanya, serta dikaruniai satu anak perempuan yang cantik dan lucu persis ibunya.
“Setiap manusia pasti ada kekurangan. Tapi, saya anggap kekurangan istri itu sebagai kelebihan. Sekarang, kehidupan keluarga saya cukup bahagialah walaupun hidup pas-pasan,” tegasnya. Alhamdulillah, saya doakan juga semoga langgeng Bang. Amin. (Nizar S/Radar Banten)








