BIASANYA, perempuan yang mempunyai suami debt collector pasti sudah mengipas-ngipaskan uang. Kemudian, di rumahnya banyak barang berharga serta naik kendaraan mewah menandakan bahwa kehidupannya sudah sejahtera.
Itu karena debt collector kerjaannya hanya mengumpulkan uang dan mencari keuntungan di dalamnya. Meskipun banyak risiko yang harus dihadapi para debt collector karena kerap bersitegang dengan klien yang nakal di lapangan.
Sayangnya, itu tidak terjadi pada rumah tangga Titi (27) dan suaminya Tata (32), keduanya nama samaran. Tata yang bekerja sebagai debt collector di sebuah perusahaan peminjaman uang dengan jaminan di Serang, justru biaya kehidupan rumah tangga Titi malah sering tekor. Itu tak lain akibat Tata yang doyan meminjam uang hingga utangnya segudang tersebar di mana-mana. Terutama utang ke kantornya yang mencapai ratusan juta. Lantaran tidak jujur soal uang yang tak jelas peruntukannya, membuat ibu dua anak ini menyeret sang suami ke Pengadilan Agama.
Di sana, Titi melayangkan gugatan cerai untuk Tata. Alasan yang Titi tulis dalam formulir, tak pernah dinafkahi suami dan tidak dihargai sebagai istri. “Capek Mas punya suami enggak jujur soal keuangan. Punya suami debt collector, tapi biaya hidup malah tekor,” keluh Titi.
Titi kesal dengan sikap Tata yang mengatur keuangan sendiri untuk membiayai rumah tangga selama enam tahun. Buat keperluan sehari-hari, permintaan Titi hanya ditakar suami. Sehari buat belanja hanya dijatah Rp20 ribu, kadang disuruh mengutang ke warung. Giliran waktunya makan, banyak permintaan yang aneh-aneh, maunya menu yang enak-enak. Ya salam. “Gila kan, uang gaji dia kemana? Enggak pernah dikasih ke saya tuh, gaji pertama doang, selanjutnya dadah,” ujarnya ketus.
Namun, giliran di ranjang, pria yang Titi nikahi sejak 2009 itu, selalu ingin terpenuhi hasrat birahinya. Tata selalu marah jikalau Titi tak mampu memberikan servis memuaskan sampai Tata dirasa lelah. Tata terbilang tipikal lelaki hiperseks. Dalam sehari, Titi bisa mandi lebih dari lima kali akibat Tata yang suka terus-terusan minta dilayani tak mengenal waktu dan tak merasa lelah. “Saya bukannya enggak mau memberi kepuasan, tapi sudah ilfil duluan. Boro-boro semangat, lebih baik diam, enggak banyak gerakan. Makanya, kita sering cekcok gara-gara bahas gituan. Lucu kan?” ucapnya.
Kalau pas malam pertama, begitu juga enggak Mbak? “Ya enggak lah, saya servis abis sampai molor. Waktu itu kan belum tahu kelakuan dia sebenarnya,” umbarnya.
Kalau tidak sampai terpuaskan saat berhubungan suami istri, Tata suka uring-uringan dan bersikap menyebalkan. Amarah demi amarah kerap dia lontarkan sampai berdampak pada pengurangan jatah belanja. Alamak, sampai ke situ juga.
Sikap Tata yang ingin selalu diperlakukan bak raja, selalu ditentang Titi lantaran tak sesuai dengan keuangan yang selayaknya diserahkan kepada Titi. Sikap itu pula yang menjadi memicu pertengkaran demi pertengkaran antar keduanya. Kondisi ini sudah terjadi sejak mereka mempunyai anak pertama.
Bertepatan dengan itu, Tata mendapat pekerjaan menjadi debt collector dan melepas status lamanya sebagai buruh serabutan. Awalnya, sikap Tata normal-normal saja. Bahkan, betapa senangnya Tata ketika mendapat gaji pertamanya. Meskipun sebagian upah tetap dia potong dengan alasan untuk bensin dan makan di jalan sehari-hari. Namun, waktu itu jatah Titi belanja terbilang lumayan.
“Gaji suami itu UMR pokoknya, terus sehari-harinya ada aja, entah dari mana saya enggak tahu dan tak pernah dikasih tahu. Soalnya, dia enggak pernah jujur. Kalau ditanya, bilangnya ‘sudah lah, istri cukup tahu menerima saja, yang penting bukan hasil rampokan,” ungkap Siti kesal.
Memang saat itu, kehidupan Titi dan suaminya lumayan mengalami kemajuan. Meski tinggalnya masih menumpang di rumah mertua. Tapi, sejalan dengan itu, Titi juga kaget dengan banyaknya orang yang datang ke rumahnya hanya mencari suami tanpa menyampaikan maksud dan tujuan. Awalnya, Titi tidak menaruh curiga, dipikirnya orang yang datang dianggap sebagai rekan-rekannya di kantor. Padahal, tujuan orang-orang yang kerap datang ke rumahnya itu, tak lain untuk menagih utang yang sudah lama dipinjam Tata, berikut bunganya. Astaga.
“Saya kaget, terus uang yang sering dipinjam suami itu dikemanakan, apa mungkin dikasihkan ke istri kedua,” kata Titi bertanya-tanya.
Ya, mungkin-mungkin saja. Hehehe, kompor. Titi berusaha meninggalkan pikiran negatif terhadap suaminya. Yang pasti, wajah orang yang sering datang ke rumah seram-seram. Maklum, namanya juga debt collector. Untuk menagih utang, tentu salah satu syaratnya harus memasang tampang garang. Begitu pula dengan suami Titi yang juga lumayan menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar, hitam, dengan tampilan rambut agak cepak.
Seperti biasa, setiap mau berangkat kerja performanya pasti begitu, sudah kayak maskot. Yakni, jaket kulit hitam, sepatu pentopel, tas selempang, serta terpampang dua cincin batu akik di jari kiri dan kanan. “Kelihatan kali Mas, tampilan debt collector, ya begitu-begitu saja rata-rata. Termasuk suami juga gayanya ikut-ikutan seperti sudah khas,” terangnya. Iya juga ya, baru sadar!.
Dengan tampilan begitu, kesombongan Tata pun bertambah. Dari sebelumnya berkarakter pendiam, sekarang menjadi sering memasang muka angkuh sehingga kurang disukai tetangga dekat rumah yang melihatnya. Ternyata, ketidaksukaan tetangga bukan karena gaya dan penampilan Tata, melainkan mereka menjadi korban Tata yang suka mengutang tetapi acuh terhadap utang yang dipinjamnya dan suka berpura-pura tidak bersalah alias watados (wajah tanpa dosa).
Kembali ke persoalan rumah tangga Titi, pertengkaran kerap terjadi, baik itu pagi, siang atau pun malam hari. Yang dipermasalahkan itu-itu saja, sering tidak napsu makanlah, adegan ranjang tidak memuaskan, bahkan sampai menuduh kalau Titi adalah istri durhaka karena tidak bisa memenuhi kebutuhan suaminya.
“Makanya, saya sudah capek Mas. Percuma dipertahankan juga, banyak makan hati,” ujarnya, mending makan ampela ya Mbak dari pada makan hati, lumayan krenyes-krenyes.
Puncaknya, Titi mengetahui jika Tata juga bermasalah di kantornya. Tata sering mengajukan pinjaman ke bank melalui jaminan perusahaan sampai ratusan juta dan tak pernah dibayarnya alias tidak bertanggung jawab. Sampai akhirnya, Tata dipecat dari pekerjaannya.
“Pas nganggur, saya yang kerja buka warung kecil-kecilan. Bukannya berterima kasih, suami malah suka uring-uringan, anak juga sering jadi pelampiasan amarahnya. Tak tahu diuntung pikir saya. Makanya, saya ceraikan saja. Dipertahankan juga malah tekor bandar,” candanya.
Kini Titi pergi dari rumah mertua dan kembali ke rumah orangtua beserta kedua anaknya dengan menyandang status janda sambil berjalan berusaha membuka lembaran baru. Wah wah wah, Mbak Titi yang sabar ya. Saya doakan semoga dapat penggantinya yang lebih baik dari Mas Tata ya. Amin. (Nizar S/Radar Banten)









