SURABAYA – Kesewenang-wenangan ditunjukkan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Selasa malam (22/11), seorang jaksa yang mengaku bernama Ahmad memaksa masuk ke ruang perawatan Dahlan Iskan di RSUD dr Soetomo. Meski dilarang perawat dengan alasan medis, dia tetap bersikeras. Tindakan ngawur itu, menurut Komnas HAM, berindikasi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Siapa pun berhak mendapat perawatan medis. Termasuk Dahlan yang kini menjadi tersangka Kejati Jatim. ”Kalau merujuk dari informasi dalam berita-berita itu, ya memang ada (indikasi pelanggaran HAM, Red),” kata Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga kemarin (23/11).
Jaksa Kejati Jatim memaksa menemui Dahlan sekitar pukul 21.00 Selasa (22/11) di RSUD dr Soetomo. Kepada perawat rumah sakit, jaksa yang mengaku bernama Ahmad dan membawa surat berkop kejaksaan itu menyatakan harus menyampaikan surat secara langsung kepada Dahlan. Perawat pun menolak permintaan tersebut. Sebab, Dahlan baru saja diberi obat dan tidak bisa diganggu dengan alasan apa pun.
Meski sudah diberi penjelasan secara gamblang, jaksa tersebut terus memaksa agar bisa bertemu Dahlan. Tujuannya, meminta tanda tangan Dahlan dan menyampaikan surat dakwaan. Perawat tetap bersikukuh melarang jaksa tersebut bertemu Dahlan secara langsung.
Pihak rumah sakit kemudian menghubungi keluarga Dahlan dan tersambung dengan pengacaranya. Melalui sambungan telepon, jaksa tersebut diberi penjelasan bahwa Dahlan sudah didampingi tim pengacara sejak ditetapkan sebagai tersangka. “Kalau ada apa-apa, surat-menyurat, harus melewati pengacara. Tidak bisa langsung kepada yang bersangkutan,” tegas Riri Purbasari Dewi, juru bicara tim kuasa hukum Dahlan.
Riri sangat menyayangkan sikap jaksa Kejati Jatim tersebut. Menurut dia, hal itu sangat tidak patut. Sebab, Dahlan sedang menjalani perawatan medis. Namun, meski sudah diberi penjelasan oleh pihak rumah sakit, jaksa tetap memaksa untuk menemui Dahlan.
Riri menjelaskan, Dahlan sedang menjalani pemeriksaan kesehatan secara khusus. Hal itu perlu dijalani Dahlan setelah pemeriksaan maraton beberapa waktu lalu. Seharusnya Dahlan juga menjalani checkup rutin ke Tianjin, Tiongkok, yakni di rumah sakit tempat dia menjalani transplantasi hati. Hal tersebut dilakukan untuk memantau apakah ada virus atau bakteri yang berkembang pascatransplantasi.
“Tujuan checkup itu adalah mendeteksi apakah muncul benih-benih kanker baru yang harus diketahui sedini mungkin. Selain itu, untuk mengetahui apakah harus ada perubahan obat untuk menekan imunitas yang diminum dua kali sehari selama seumur hidup. Dampak negatif obat bisa meningkatkan tekanan darah yang bisa mengancam jantung dan organ tubuh lainnya,” papar Riri.
Tes yang harus dijalani adalah cek darah lengkap dengan tujuan khusus. Selain itu, urine, feses, USG ginjal dan prostat, MRI liver, pemeriksaan jantung secara detail, serta deteksi dini kanker.
Selain Komnas HAM, sejumlah instansi menindaklanjuti tindakan semena-mena jaksa tersebut. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai, tindakan jaksa memaksa menemui Dahlan di rumah sakit tersebut merupakan bentuk maladministrasi.
Komisioner ORI Ninik Rahayu menegaskan, tindakan jaksa memaksa Dahlan bertanda tangan dalam kondisi sakit sangat tidak dibenarkan. “Itu bisa disebut bagian dari maladministrasi,” katanya.
Senada dengan Komnas HAM, Ninik menyarankan pihak Dahlan untuk menyampaikan laporan. Dari laporan itu, ORI akan bekerja meminta keterangan sejumlah pihak.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono juga menilai bahwa tindakan jaksa tersebut tidak patut. Memaksa tersangka yang sedang sakit untuk bertanda tangan sangat tidak bisa dibenarkan. “Kesannya kok maksa banget, sampai datang malam hari begitu,” ujarnya.
Dia setuju kasus itu dilaporkan ke Komisi Kejaksaan, Komnas HAM, maupun Ombudsman. Supriyadi menilai, untuk pemanggilan saksi saja, ada aturan dan kepantasannya. Dia mempertanyakan alasan jaksa yang tidak berkoordinasi lebih dahulu dengan pengacara Dahlan. “Kalau kelakuan jaksa seperti itu, bisa jadi motifnya untuk menghalang-halangi hak tersangka,” ucapnya.
Selain ICJR, civil society lainnya, Setara Institute, menyampaikan hal yang sama. Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi menilai, tindakan jaksa Kejati Jatim yang memaksa menemui Dahlan di rumah sakit merupakan sikap sewenang-wenang. “Saya kira, jika perawat sudah melarang masuk dan pihak kejaksaan tetap memaksa, itu adalah perilaku sewenang-wenang,” tegasnya.
Menurut aktivis HAM tersebut, tindakan jaksa terhadap Dahlan merupakan bentuk arogansi aparat penegak hukum. “Bentuk arogansi kekuasaan aparat kejaksaan yang tidak dapat dibenarkan,” ujarnya.
Komisi III Bereaksi
Anggota Komisi III DPR Muhammad Syafi’i juga mempertanyakan perilaku Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Maruli Hutagalung. Hal tersebut terkait kedatangan seorang jaksa yang memaksa bertemu Dahlan Iskan di RSUD dr Soetomo untuk menyampaikan surat dakwaan pada Selasa malam (22/11).
Menurut dia, perilaku jaksa anak buah Maruli tersebut menyimpang dan menyalahi prosedur. Lantas, kata Syafi’i, penegakan hukum saat ini tidak ditujukan untuk menegakkan keadilan, tapi untuk menuntaskan pesanan-pesanan.
“Kalau sudah ada pesanan, menyalahi prosedur pun akan dia lakukan,” sindirnya saat dihubungi JawaPos.com, Rabu (23/11).
Syafi’i lalu menyinggung, Maruli sendiri yang masih terlilit kasus pidana dana bantuan sosial Sumatera Utara (Sumut) yang menjerat Gubernur (nonaktif) Sumut Gatot Pujo Nugroho. Dia mengungkapkan, berdasar keterangan saksi dalam sidang, Maruli menerima aliran dana untuk mengamankan kasus bansos itu.
“Cuma, Maruli ini kan tidak kooperatif waktu diperiksa. Tapi, sekarang dia justru melakukan penyimpangan prosedur dalam penuntutan,” tegas politikus Partai Gerindra tersebut.
Karena itu, dia mengkritik keras kinerja kejaksaan di bawah komando M. Prasetyo. Menurut penilaian Syafi’i dan banyak pihak, penegakan hukum bukan untuk menegakkan keadilan, tapi untuk menuntaskan pesanan-pesanan. “Semua perilaku jaksa yang menyimpang itu banyak terjadi di zaman Prasetyo ini,” ungkap legislator asal Medan tersebut.
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil juga menilai, seorang jaksa yang mengaku bernama Ahmad itu telah melanggar HAM. Apalagi memaksa meminta tanda tangan pada saat jam istirahat pasien di rumah sakit. “Aparat penegak hukum tidak memperhatikan HAM yang bersangkutan (Dahlan Iskan) dan tentu ini menjadi pertanyaan, ada apa?” ujarnya.
Karena itu, pria asal Medan tersebut menyayangkan sikap aparat penegak hukum atau jaksa yang sewenang-wenang tersebut. “Kami sayangkan. Kurang mengerti dengan situasi dan seharusnya juga memperhatikan hal-hal seperti itu,” tegasnya.
Sayang, pihak kejati Jatim lagi-lagi tidak mau memberi penjelasan tentang hal tersebut. Plt Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim Romy Arizyanto tiga kali ditelpon tidak mengangkat. Meskipun terdengar nada panggil. Begitu pula ketika di-SMS, dia tidak merespons. (atm/c5/ang/JPG)