ENON, bukan nama sebenarnya, melinangkan air mata. Bukan karena disakiti atau dikhianati lelaki, melainkan merasa hak asasinya sebagai anak dirampas. Enon tidak bisa memilih dalam menentukan siapakah suaminya kelak. Soalnya, Enon sudah dijodohkan orangtuanya yang sudah menjatuhkan pilihan kepada lelaki yang jauh lebih tua.
Dialah Somad, bukan nama sebenarnya, yang 20 tahun lebih tua dari Enon. Somad sendiri berstatus duda satu anak ditinggal mati istrinya. Beda dengan Enon yang memang asli perawan ting ting.
Saat keduanya dipertemukan, Enon hanya menengok sekejap sebelum menerima lamaran lelaki pilihan orangtuanya. Tak sedikit pun ada perasaan suka atau sekadar simpatik saat pertama kali melihat wajah Somad. Walaupun wajah Somad sepintas terkesan ramah.
Lain Enon lain pula Somad. Pertama kali melihat Enon, Somad dengan kumis tipis dan kepalanya yang sudah dipenuhi uban, justru langsung terpikat. Pada saat tatap muka, Somad mesem melihat calon istrinya tersebut. Kala itu, Somad sendiri sudah mempunyai gelar haji.
Usia Somad saat itu sudah menginjak 40 tahun dan berasal dari keluarga lumayan berada di Serang. Merasa tak tahan, Somad meminta prosesi pernikahan pun dipercepat. Cerita tadi merupakan gambaran Enon 20 tahun lalu. Saat itu, usia Enon masih 21 tahun. Sekarang di usia 41 tahun, rumah tangga mereka masih bertahan, tetapi selama itu pula Enon dengan sabar menahan kekesalannya terhadap Somad yang keras kepala. “Pokoknya, suami saya tuh sifatnya, ampun. Kalau mengobrol apa saja, enggak pernah mau mengalah. Merasa paling benar,” keluh Enon.
Tak pernah terbayangkan oleh Enon bakal mendapatkan suami jauh lebih tua yang seumur dengan bapaknya. Enon yang memang gadis desa, saat dijodohkan orangtuanya dulu, hanya bisa menurut. Di mata Enon, orangtua lebih tahu apa yang terbaik buat anaknya. Oh so sweet. Namun, karena pilihan orangtua itu juga, membuat Enon harus menerima akibatnya. Batin Enon menderita selama berumah tangga karena sifat suaminya yang egois, mau menang sendiri dan tak pernah mengerti situasi dan kondisi.
“Seperti ngomongin politik saja, sok tahu. Dikasih tahu, enggak terima. Ngomongin orang juga, menjelek-jelekkan saja, sok paling benar. Si anu mah ginilah, si ini gitulah. Dia sendiri suka marah kalau disindir. Bagaimana ya? Pokoknya ruwet deh,” terangnya.
Yang paling Enon tidak terima, setiap mau makan pasti Somad banyak maunya. Mintanya yang enak-enak, komplet, dan istimewa. Seperti menu masakan sunda, harus ada ikan asin, jengkol, petai, sambal, lalap, sayur asem, termasuk ayam goreng plus kerupuk. Belum tumisan lainnya, mulai dari capcay, tumis kacang panjang, dan sebagainya. Begitu pula, ketika meminta menu istimewa lainnya. Seperti rendang atau sop iga atau buntut, dan masih banyak lagi menu-menu spesial khas restoran lainnya. Pokoknya, setiap makan, menu yang disajikan untuk Somad ketika mau makan harus beragam. Sedangkan uang belanja yang dikasih Somad sendiri kepada Enon pas-pasan, tak lebih dari Rp50 ribu. Alamak. “Kalau debat soal makan tuh, enggak pernah ada habisnya. Kalau saya bilang enggak cukup, dia malah balikin. Katanya ‘kamu saja yang enggak bisa menawar belanjanya di pasar’. Capek meladeninya juga,” ujarnya kesal. Wah parah.
Keegoisan Somad tidak hanya ditunjukkan ke Enon, melainkan juga kepada orang lain, termasuk mertua dan anak-anaknya. Untungnya, baik keluarga maupun tetangga sudah memahami sifat Somad. Kelebihan Somad, salatnya rajin dan menularkannya kepada anak-anak. Maklum, Somad kan sudah punya gelar haji.
Pernah beberapa kali Enon pergi dari rumah saking kesalnya. Sampai sebulan kemudian, Somad datang menjemput. Dipikir Enon, Somad bisa menyadari kesalahannya. Eh, ternyata apa yang disampaikan Somad tak sesuai harapan Enon. Somad malah datang ke rumah orangtua Enon, mengadukan sikap Enon yang sudah berdosa terhadap suami menurut ajaran agama. Pergi tanpa izin suami dan di rumah tidak bisa melayani suami dengan baik.
“Dasar bocah tua (memanggil suaminya-red), bukannya merayu istri buat rujuk lagi, malah menjelek-jelekkan istri sendiri di depan orangtua dan terus disalahkan. Siapa yang enggak kesal coba?,” ketusnya. Ibu lagi, sudah tahu suami seperti itu, pakai coba-coba.
Kepergian Enon tak hanya sekali, bahkan untuk kesekian kalinya meninggalkan Somad, tak ada yang berubah. Somad tetap pada pendiriannya memelihara sikapnya yang egois dan keras kepala. Memang, Somad tidak pernah marah besar, hanya sering menyalahkan orang lain tanpa introspeksi diri sendiri. Dengan sikapnya itu, tak jarang tetangga mencibirnya sehingga gosip perilaku suaminya pun sampai menyebar ke mana-mana.
“Aku yang malu. Soalnya, orangnya juga perhitungan. Misalkan ada yang pinjam barang, harus izin langsung ke dia, nanti ditanya-tanya berapa lama pinjamnya,” ungkapnya. Kalau rusak, pasti minta ganti ya? “Nah, tuh Mas tahu juga. Bikin jengkel jadinya,” ucapnya.
Namun, hati Enon berat meninggalkan Somad yang begitu sayang kepada anak-anaknya. Meskipun ketika anak minta dibelikan sesuatu, Somad masih sedikit perhitungan. Selama 20 tahun Enon tabah menghadapi sikap Somad yang mulutnya sebuas harimau. Terlebih, pernikahan Enon dan Somad sudah dikaruniai dua anak yang saat ini keduanya sudah beranjak dewasa dan sudah bekerja. Enon mengaku, menerima nasibnya bersuamikan lebih tua dan angkuh. Padahal, kerjanya juga serabutan.
“Ya, tinggal menunggu waktunya saja, sudah tua juga, kasihan,” katanya. Nah loh, tega nih ibu? “Enggak, bercanda Mas,” ujarnya. Tapi, dalam hati kayaknya benaran tuh, hehehe.
Beruntung, suaminya multitalenta, ketika sedang tidak ada proyek jual beli tanah yang biasa digelutinya, suaminya menyelang dengan kegiatan menjadi pengiring biduan, mampu mengoperasikan organ tunggal. “Ya, namanya sudah tua, suami tadinya punya jabatan di perusahaan di Serang. Cuma sekarang sudah pensiun, jadi cari duit dari mana saja. Kalau Sabtu-Minggu seringnya mengiringi biduan main organ di hajatan, lumayanlah. Untungnya, sudah punya rumah dan mobil,” ungkapnya.
Tuh kan, pasti di balik kekurangan, pasti ada kelebihan. Sekarang mah syukuri saja Bu. (Nizar S/Radar Banten)