SERANG – Selama 2017, kasus difteri di Banten mencapai 205 kasus dengan 11 orang meninggal dunia. Dari delapan kabupaten kota, Kabupaten Tangerang di peringkat pertama jumlah pasien difteri.
Kepala Seksi Surveillence Imunisasi dan Krisis Kesehatan Dinkes Provinsi Banten Rostina mengatakan, hingga akhir 2017 kasus difteri terus mengalami peningkatan. Totalnya mencapai 205 kasus dan 11 orang meninggal. “Jumlahnya terus bertambah,” ujarnya saat dihubungi Radar Banten, Senin (1/1).
Perempuan yang akrab disapa Una memerinci penyebaran difteri berdasarkan laporan kabupaten kota yakni Kabupaten Tangerang 70 kasus dengan lima orang meninggal, Kota Tangerang Selatan 35 kasus, Kota Tangerang 28 kasus, Kabupaten Serang 29 kasus dengan tiga meninggal, Kota Serang 17 kasus dengan satu meninggal, Kabupaten Pandeglang 17 kasus dengan satu meninggal, Kabupaten Lebak enam kasus satu meninggal, dan Kota Cilegon tiga kasus.
Una mengatakan, hingga akhir 2017 terus melakukan penjangkauan vaksinasi melalui program outbreak response immunization (ORI). Kabupaten Tangerang dari 1.192.124 sasaran baru terlaksana 728.301 (61,09 persen), Kabupaten Serang dari 526.270 sasaran yang sudah 275.320 (52,32 persen), Kota Tangerang dari 618.509 sasaran baru terlaksana 311.161 (50,03 persen), Kota Serang dari 236.491 sasaran baru terlaksana 103.820 (43.53 persen), dan Kota Tangsel dari 478.594 sasaran baru 204.530 (42,74 persen). “Kota Tangerang baru mencapai 53 persen penjangkauan,” katanya.
Kepala Dinkes Provinsi Banten Sigit Wardojo mengatakan, banyak kasus difteri di Banten menjadi tugasnya untuk mengambil langkah pencegahan. “Artinya data yang masuk kita curigai dan kita langsung lihat di tempat. Upaya berikutnya kita perbanyak melakukan penyelidikan epidemologi (PE). Jadi begitu kita lihat langsung kita bawa ke rumah sakit,” ujarnya.
Menurut Sigit, bagi keluarga yang mengalami kontak dengan pasien difteri, pihaknya sudah melakukan langkah preventif dengan memberikan antibiotik selama 7-10 hari. Sedangkan untuk lingkungan sekitarnya Dinkes Banten melakukan imunisasi atau ORI. “Untuk penderitanya kita masukkan ke ruang isolasi dan lakukan pengobatan sesuai standar dengan memberikan serum antidifteri dan antibiotik,” katanya.
Menurutnya, kasus difteri pernah terjadi pada kurun tahun 1980-an. Mulai 1990-2000 difteri sudah tidak ditemukan lagi karena program imunisasi yang digelorakan pemerintah pusat saat itu berhasil. Namun, setelah itu difteri kembali ditemukan. (Fauzan D/RBG)