Demi pendapatan besar setiap bulan, Odah (38) nama samaran, bekerja bersama teman-teman di perantauan. Meski dilarang sang ibu dan tidak mendapat izin suami, sebut saja Niman (41), baginya, kalau kepala rumah tangga tak bisa mencukupi ekonomi sehari-hari maka istri yang harus beraksi.
“Ya habis gimana ya, Kang. Cari kerja sekarang susah, ini ada kerjaan, masa saya tolak. Lagian juga kan lumayan gajinya gede,” kata Odah kepada Radar Banten.
Seperti diceritakan Odah, sebenarnya sang ibu dan suami menyetujui pekerjaan apa pun yang penting halal, termasuk jadi pembantu sekali pun. Namun jarak dan jenis pekerjaan yang belum jelas adanya, membuat keluarga resah. Loh, memang kerja di mana, Teh?
“Di Lampung, Kang. Kebetulan di sana ada teman yang sudah sukses. Jadi saya diajak gabung, siapa tahu rezeki,” kata Odah. Oalah, pantas saja enggak dapat izin, jauh begitu.
“Ya tapi kan saya bisa pulang sebulan sekali. Lagian teman saya janjinya dapat gaji besar, kan lumayan,” tuturnya.
Odah anak pertama dari empat bersaudara. Terlahir dari keluarga sederhana, ia terbiasa hidup susah. Sejak kecil berjualan es keliling, Odah wanita mandiri yang suka membantu orangtua. Dengan postur tubuh ideal dan kulit sawo matang, ia tumbuh menjadi sosok panutan bagi adik-adiknya.
Hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA, Odah sempat bekerja di perusahaan yang tak jauh dari rumahnya. Waktu itu ia ditempatkan di bagian bendahara dan mendapat upah yang lumayan. Namun, karena ketatnya persaingan, apa mau dikata, posisinya tersingkir dengan orang yang lebih tinggi pendidikannya.
Sejak saat itu, Odah tak lagi bekerja. Atas saran orangtua dan saudara, daripada menganggur tak jelas, lebih baik menikah. Seolah direncanakan sejak awal, keesokan harinya, datanglah seorang lelaki diantar orangtua yang tak lain rekan ayahnya. Oalah.
“Padahal waktu itu saya pengin main-main dulu, enggak mau nikah, eh tapi sudah disuruh nikah saja,” curhatnya.
Meski awalnya malu-malu, yang namanya wanita pasti menerima keputusan orangtua. Berkenalanlah Odah dengan Niman. Lelaki bertubuh tinggi dengan kulit hitam manis itu pun tampak semringah. Bagai mimpi bertemu bidadari, ia terpana melihat Odah yang baginya cantik luar biasa.
Namun, harapan memang terkadang tidak sejalan dengan kenyataan. Bukannya menyambut baik senyum sang lelaki, Odah malah cuek dan cenderung tak nyaman. Ia berkali-kali meminta izin masuk ke kamar dan pergi meninggalkan. Jadilah sang ibu yang membujuknya untuk menerima. Aih-aih, jahat amat sih Teh.
“Ya waktu itu kan memang saya sudah bilang enggak pengin nikah, terus enggak suka juga sama dia,” ungkapnya.
Apalah daya, Niman pun pulang dengan wajah murung. Tapi, bagai memiliki semangat juang para pahlawan, ia tidak berputus asa dalam menggapai cinta. Seminggu kemudian, dengan keberanian anak muda yang kebelet nikah, ia kembali datang dengan sebungkus martabak untuk keluarga sang wanita. Widih, nyogok nih yee.
Sekali, dua kali, Odah masih dengan sikapnya yang dingin. Namun, sampai suatu malam, ketika hujan lebat mengguyur disertai petir, Niman dengan senyum mengembang berdiri di depan pintu rumah. Odah yang waktu itu menyambutnya kaget tak percaya, dengan tubuh basah kuyup, Niman tak mengeluh sedikit pun hanya untuk menemuinya.
Sejak saat itulah Odah mulai terbius api cinta. Seolah tak ada lagi jarak, kedekatan mereka membuat orangtua Odah bahagia. Singkat cerita, tanpa menunggu lama, menikahlah Odah dan Niman. Mengikat janji sehidup semati, mereka resmi menjadi sepasang suami istri.
Setahun pertama, lahirlah sang buah hati tercinta. Membuat hubungan keduanya semakin mesra. Beruntungnya, waktu itu Niman bekerja sebagai pegawai di toko swalayan milik tetangga. Jadi, meski hidup pas-pasan, setidaknya tidak terlalu pusing untuk urusan makan.
Sampai suatu ketika, musibah itu datang tak terduga. Niman tak lagi bekerja dan hanya menganggur di rumah. Selama tiga bulan lebih rumah tangga mereka didera kemalangan nasib karena tak ada penghasilan. Apa mau dikata, terpaksa, Odah pun meminjam uang ke tetangga dan teman.
Hingga ia diajak oleh salah seorang teman semasa SMA yang sudah sukses bekerja di Lampung, Odah pun berniat mengubah nasib dengan mengikuti jejak langkahnya. Tapi, keinginannya tidak direstui suami dan sang ibu. Namun bukan Odah namanya jika menyerah begitu saja.
Dengan pertimbangan yang sudah dipikirkan matang-matang, ia nekat kabur dengan meninggalkan sepucuk surat. Dalam suratnya itu Odah berjanji akan pulang sebulan ke depan dan menitip agar sang anak yang baru berusia dua tahun dirawat dengan baik. Aih-aih.
“Habisnya saya kesal waktu itu, masa orang mau kerja kok dilarang. Ya sudah deh kabur diam-diam,” curhatnya.
Di perjalanan, ketika hendak menyeberang dengan kapal feri, terdengar suara seorang lelaki memanggil namanya. Odah mengaku waktu itu ragu-ragu untuk menoleh karena khawatir bukan dirinya yang dipanggil. Namun, tak lama kemudian, ia merasa ada yang menyentuh lengannya.
Betapa kaget luar biasa, ternyata yang sedari tadi memanggil itu teman lamanya di kampung. Setelah bercengkrama menanyakan kabar dan kehidupan masing-masing, sang lelaki meminta untuk foto bersama. Tanpa sepengetahuan Odah, di-upload-lah foto itu ke Facebook.
Apesnya, ternyata ada salah seorang teman sang suami yang juga berteman di Facebook dengan teman Odah tersebut. Dilaporkan foto itu kepada Niman, bagai cacing kepanasan, Niman gusar tak bisa diam. Berulang kali ia menelepon namun tak ada jawab, membuat emosian semakin tak tertahankan.
Sebulan kemudian, Odah pulang dan langsung mendapat amukan. Keributan terjadi bak perang dunia kedua. Beruntungnya, Niman masih mau mendengarkan penjelasan sang istri. Meski sempat saling diam beberapa hari, rumah tangga mereka masih bisa dipertahankan.
Waduh, syukur deh kalau begitu. Semoga kejadian ini bisa jadi pelajaran untuk Teh Odah. Bagaimana pun, restu ibu dan suami tetap harus jadi yang utama. Dan untuk Kang Niman, semoga semakin giat bekerja supaya rumah tangga sejahtera. (daru-zetizen/zee/ags/RBG)