Menjalani puasa selama seminggu di Tokyo, Jepang, merupakan pengalaman baru. Berpuasa di sana, lebih banyak godaannya. Apa saja?
Sejak menginjakkan kaki di Tokyo pada Senin (21/5) lalu, sudah memasuki puasa hari kelima. Di sana, puasa lebih panjang dibandingkan Indonesia. Bila di Indonesia hanya sekira 13 jam maka berpuasa di Tokyo sekira 16 jam lebih. Jadi, tiga jam lebih lama.
Subuh menjelang saat jam menunjukkan angka 02.51. Matahari menyembul lebih cepat. Pukul 04.33. Sementara magribnya sekira pukul 18.48. Meski waktu berpuasa lebih lama, namun, tidak terasa lelah dan haus. Kok bisa? Bisa! Itu karena puasa di sana ‘terbantu’ oleh suhu yang sangat sejuk. Di kisaran angka 21 hingga 25 derajat. Sungguh sangat adem.
Jalan siang-siang di sana tidak membuat kita lelah apalagi sampai dehidrasi. Walaupun matahari bersinar terang, tidak membuat kita berkeringat dan baju basah. Kami menghitung langkah kaki tiap hari, selama seminggu awal Ramadan di Tokyo. Via aplikasi kesehatan di handphone. Selama sepekan itu, langkah kaki terpendek sejauh 3,7 kilometer. Paling jauh 12,6 kilometer. Jalan sejauh itu demi menuju stasiun-stasiun kereta dan mengunjungi destinasi wisata. Tidak berkeringat sama sekali. Puasa yang kami jalani pun biasa-biasa saja. Tidak sampai kehausan.
Satu-satunya godaan berpuasa selama di Tokyo, yang saya rasakan secara nyata, adalah menjaga pandangan mata. Banyak kaum hawa yang berpakaian sangat minim. Baju serendah-rendahnya, celana setinggi-tingginya, dari lutut. Godaan lainnya adalah restoran dan kafe yang buka sepanjang hari. Menjajakan aneka makanan. Setiap hari itu juga, restoran dan kafe penuh oleh warga yang makan. Tidak hanya di restoran dan kafe, ada juga warga yang minum sambil jalan-jalan.
Nuansa Ramadan, kata salah satu wartawan yang ikut dalam rombongan kami, nyaris tidak terasa di Tokyo. Sebab setiap hari sejak Ramadan, suasananya seperti hari-hari biasa saja. Orang bebas makan dan minum di mana saja. Tidak terdengar suara azan, apalagi orang yang membangun sahur. Tidak ada.
Lalu, bagaimana mengenai makanan bagi orang yang berpuasa. Tenang. Kalau soal itu tidak perlu resah, aman lah. Sudah banyak restoran dan rumah makan cepat saji di Tokyo yang mengantongi sertifikat halal dari lembaga resmi di sana (seperti MUI di Indonesia).
Ada restoran yang dimiliki orang Indonesia, seperti Restoran Surabaya Wayang Bali di sebuah pusat perbelanjaan. Rumah makan ini menjual menu khas Jepang dan Indonesia. Ada juga restoran dengan menu halal yang dimiliki orang Jepang. Salah satunya Hanasakaji-san Sakuragaoka.
Skytree
Pengalaman lain yang dapat kami nikmati selama di Tokyo adalah menaiki menara tertinggi, Tokyo Skytree. Di situ, kita bisa menyaksikan matahari terbenam dengan sangat indah dari bangunan paling tinggi. Sensasi yang sangat berbeda menanti waktu berbuka (ngabuburit) dari ketinggian. Dari Skytree kita bisa melihat pemandangan bawah, jejeran bangunan-bangunan di pusat kota.
Kami menuju Tokyo Skytree sore itu dari Kuil Sensoji di Asakusa. Karena sore semakin menjelang, pilihan ke tower itu menggunakan taksi. Biar lebih cepat. Dari kuil ini, bangunan Tokyo Skytree memang sudah kentara.
Tokyo Skytree sebelumnya bernama New Tokyo Tower. Ini adalah menara siaran, observasi, dan rumah makan. Lokasinya di Sumida, Tokyo. Menara ini telah menjadi yang tertinggi di Jepang sejak 2010. Mencapai ketinggian akhir yakni 634 meter pada Maret 2011. Sejak itu tercatat sebagai menara tertinggi di dunia, melampaui Menara Canton di Guangzhou, Tiongkok. Dan merupakan bangunan tertinggi kedua di atas bumi setelah Burj Khalifa (829,84 meter).
Tiba di kawasan tower, langsung menuju lantai empat Gedung Tokyo Solamachi. Di sinilah titik start menuju puncak. Ada dua kategori yang ditawarkan untuk melihat ketinggian. Alias ruang observasi tower. Yakni, ketinggian 350 meter dan 450 meter.
Kami memilih yang pertama. Harga karcisnya 2 ribu yen. Rp 258 ribu dengan kurs 1 yen Rp 129. Ruang observasi didesain bundar. Jadi kita bisa berkeliling. Melihat pemandangan 360 derajat kota Tokyo.
Tak hanya melihat langsung dari balik jendela. Di sisi kiri setelah lift naik, ada juga jejeran meja dengan video layar sentuh setinggi perut, untuk melihat pemandangan. Mirip-mirip melihat peta di Google Map. Bisa diatur. Pilih siang atau malam. Pakai bahasa Inggris atau Jepang. Juga bisa di-zoom titik yang kita inginkan.
Setelah membeli karcis, pengunjung tak serta-merta pencet tombol lift dan meluncur ke atas. Karena saking tingginya, harus ada yang mendampingi. Ada pemandunya. Perempuan-perempuan ramah dengan seragam dominan hijau. Dengan pita melilit di leher. Di depan lift, sebelum naik, dia memberi “kaifiat” menikmati ketinggian dari Tokyo Skytree. Pakai bahasa Jepang dan Inggris.
Setelah pengarah, pintu lift dibuka. Pengunjung dikirim ke atas berkelompok-kelompok. Satu kelompok 20-an orang. Di lift yang akan dinaiki hanya ada delapan tombol tujuan. Lantai satu tempat dimulai, dua tombol di atasnya kosong tanpa keterangan, kemudian lantai 4 dan lantai 5.
Tombol selanjutnya lantai 340 meter, 345 meter, dan 350 meter. Lift dengan kapasitas besar itu didesain sangat cepat. Pada layar pengukur kecepatan di bagian atas pintu lift, terlihat ukuran laju meluncur ke atas. Yakni 600 meter per menit.
Tak terasa. Seperti naik lift biasa. Pembedanya hanya pada gendang telinga. Seperti naik pesawat saat baru lepas landas. Mendekati lantai yang dituju, kecepatan yang tercatat di layar menurun hingga angka 0 meter per menit. Saat turun dari lantai 345 meter, saya menghitung waktu yang dibutuhkan untuk ke bawah di ketinggian ratusan meter itu. Pakai stopwatch di smartphone.
Tercatat hanya butuh waktu 50 detik alias tak sampai satu menit untuk tiba ke bawah. Di lantai lima. Saat meninggalkan ketinggian 350 meter, jingga senja sudah menyembul dari balik awan. Kami buru-buru turun untuk mencari tempat makan. Tentu saja untuk berbuka puasa. (AHMAD LUTFI)