Oleh: Ken Supriyono (Jurnalis Radar Banten/Pegiat Komunitas BantenFuture)
Uforia menyelimuti masyarakat Mesir. Pemicunya, Mohamed Salah. The King of Egypt membawa tim, berjuluk Firaun melaju ke Piala Dunia 2018, Rusia.
Kepahlawanan itu, dimulai di Stadion Borg El Arab, 8 Oktober tahun lalu. Salah, tampil heroik. Penentu kualifikasi grup E zona Afrika. Dua gol diborongnya. Mesir pun menang (2-1) atas Kongo. Dramatis. Gol penentu kelolosan itu, baru terjadi dua menit jelang bubaran.
Nama Mo Salah menggema. Dipuja-puja hingga pelosok Negeri Piramida. Tua, muda, sampai anak-anak mengidolakannya. Terlebih, Mesir lama absen pada gelaran sepakbola empat tahunan itu. Mesir, terakhir kali jadi kontestan tahun 1990. Piala Dunia di Italia, yang menempatkan Jerman di singgana Juara untuk ketiga kalinya.
Salah, memang sedang jadi idola baru dunia sepakbola. Namanya sampai mengungguli calon presiden, Moussa Mustafa,–yang hanya memperoleh 2,92 persen–,di pemilu Mesir 2018. Padahal, Salah bukan kontestan pemilu. Satu juta lebih suara pemilih Salah, tetap dinyatakan tak sah. Petahana, Abdel Fattah Al-Sisi kembali terpilih, dengan raihan suara 97,08 persen suara.
Kisah Mo Salah, dimulainya dari tim lokal–El Mokawloon Sporting Club–. Perlahan, ia masuk ke Eropa melaui club Swiss, Basel. Musim itu, tahun 2012. Musim semi untuknya. Salah, didaulat sebagai pemain muda Afrika terbaik.
Dua tahun berselang, Chelsea kepincut memboyongnya. Salah pun, tercatat sebagai orang Mesir pertama yang membela The Blues. Setahun di London, pria kelahiran 15 Juni 1992 itu, pindah ke Serie A. Awalnya dipinjamkan Chelsea ke Fiorentina, paruh musim. Selepas itu, dikontrak permanen AS Roma.
Nama Salah, semakin melejit saat musim panas 2017 datang. Ia sudah berganti kostum Liverpool. Salah diboyong ke Anfield dengan transfer sebesar 42 juta poundsterling, setara dengan Rp801,62 miliar. Sekarang, sesuai studi CIES Football Observaory, bandrol transfer Salah, sudah tembus di angka 144 juta poundsterling (Rp2,74 triliun).
Harga mahal itu, memang tak mengecewakan The Reds. Penampilannya impresif. Topskor liga Inggris disandangnya. Torehan golnya capai 32, dengan 11 assist. Dua gol lebih banyak dari striker asli Inggris Harry Keane,–yang membela Tottenham Hotspor–. Salah pun, kembali didaulat pemain terbaik Afrika tahun 2017.
Sayang, tak ada juara yang dipersembahkan Salah. Bersama Firminho dan Mane (Trio Firmansah), Salah hanya bisa puas mengantarkan Liverpool peringkat empat liga Inggris. Juga runner up Champions League. Real Madrid, masih terlalu tanggung untuk ditaklukan Salah cs di laga puncak.
Tapi, Salah sudah terlampui diidolakan. Aroma asal bukan Madrid, di Kiev Stadium waktu itu, terlanjur menggema. Publik (fans) Salah, ingin juara baru. Kemanangan (3-1) Lon Blancos pun, seperti ter-salah-kan.
Sergio Ramos–captain El Real–, tertuduh. Biang kerok kekalahan Liverpool. Aksinya menghalau (lawan) Salah, berujung cidera bahu. Salah menepi ke pinggir lapangan. Menit ke-32, digantikan Adam Lalana.
Tersalahkannya Ramos tak selesai, seusai laga final. Fans Liverpool, juga Mesir marah. Tak terkecuali, sebagian orang-orang Indonesia. Di Jakarta, sampai ada seruan menggelar aksi bela Salah. Beragam isu mencuat. Lucunya, sampai sematan ulama juga. Padahal, sepakbola mengajarkan (kejujuran) sportivitas. Janganlah, kaburkan profesi Mohamed Salah, sebagai pesepakbola.
Ah, was-was, yang berlebihan. Salah, tak bisa tampil membela Mesir di Piala Dunia. Mesir jadi seolah-olah Salah. Memangkan demikian?
Laga fase grup A melawan Uruguay, Salah absen. Hector Cuper–pelatih Mesir–, tak mau ambil risiko. Mesir tanpa Salah. Kalah (0-1).
Ungkapan yang mengandai-andai kembali terlontar. Andai Salah ada, andai Salah fit, dan andai Salah. Salah. Dan Salah. Hector Cuper, punya dalih atas ke-Salah-an strategi-taktiknya di atas lapangan.
Usai kalah dari anak asuh Oscar Tabarez, skuat Mesir dihadapkan pasukan tuan Rumah Rusia. Salah–yang katanya belum fit– dipaksa bermain. Tapi, tuan rumah terlalu tangguh untuk ditaklukan, pada laga di Stadion St Petersburg, Selasa, 19 Juni 2018. Tim Tirai Besi punya kolektivitas permainan, yang dipadupadankan dengan heroisme supporter.
Mesir keok lagi. Telak, 3-1. Salah, hanya bisa mencetak gol penghibur lewat titik putih. Itu pun setelah tertinggal tiga gol. Pelatih Mesir berdalih Salah lagi. Tidak menyatunya tim, karena Salah tak ikut latihan bareng. Lantas apa gunanya tim kesebelan Mesir?
Seperti nasib 28 tahun silam di Italia, Mesir kandas di fase grup. Pertandingan terakhirnya dengan Arab Saudi pada Senin 25 Juni mendatang, hanya akan jadi hiburan. Menang kalah tak berpengaruh. Rusia sudah memantapkan lolos, dengan enam point. Juga Uruguay yang menyusul tuan rumah. Tiket Los Curuas didapat dari kemenangan (1-0) atas Arab Saudi.
Mesir boleh pulang lebih awal. Tapi Salah, harus tetap menjadi Salah. Ia tak perlu berkecil hati. Banyak pemain/tim besar (dunia) lainnya, yang lebih dulu mengalami kegagalan.
Mereka itu: Italia, yang gagal di dua laga final secara beruntun (1990/1994). Kerja keras, akhirnya berbuah manis tahun 2006. Gli Azzurri Juara dunia, mengalahkan Jerman.
Kegagalan juga pernah dirasakan Brasil. Padahal tim Samba punya pemain fenomenal seperti Ronaldo, Rivaldo, dan Ronaldinho. Pemain yang sedang dalam performa terbaik. Nyatanya, tahun 1998 itu, tarian Samba luluh dari pemain atraktif Zinadine Zidane. Juga dukungan supporter (tuan rumah), Perancis, yang bersorak di laga final.
Masa itu, Brasil memang dihuni para bintang. Generasi emas. Tak hayal, empat tahun setelah mereka berjaya. Piala Dunia di Jepang-Korea Selatan dibopong ke Amerika Latin. Brasil taklukan Jerman (2-0).
Sementara, kegagalan Jerman berlanjut hingga final 2006. Tim Panser kandas dari seteru abadi, Italia. Jerman masa itu memang sedang dalam masa terbaik. Banyak pembenahan pasa sistem sepakbolanya. Salah satunya, club harus punya akademi. Tahun 2014 pun, Jerman merengkuh juara. Bisa jadi, di Rusia tahun ini.
Mental juara memang tak bisa dipupuk instans. Apalagi dengan pujian semata. Butuh proses, kerja keras dan kesabaran berjuang. Kegagalan Salah, adalah hal yang biasa. Seperti juga para pendahulunya, di benua Afrika. George Weah di Liberia, Samuel Eto di Afrika Selatan, Didier Drogba di Pantai Gading. Juga, nama top lain yang pernah merumput di Eropa. Mereka juga pernah gagal, lalu sukses menjadi juara.
Salah tinggal menunggu waktu. Terlebih, Mesir punya gen juara Piala Afrika. Tujuh kali sudah pialanya. Rekor juara terbanyak dari negara-negara Afrika lainnya. Bahkan, medio 2006-2010, tiga kali beruntun menyabet titel itu.
Kegagalan Salah jadi pelajaran penting. Juara tak hanya bergantung diri pada satu tumpuan. Soliditas, dan team work (kerjasam), sebagai satu kesatuan tim jadi kunci utamanya.
Salah yang sedang tersohor, bisa memulainya lagi. Setidaknya membuktikan di kancah Afrika. Sebagimana Cristiano Ronaldo, yang baru membuktikan di level benua–juara Piala Eropa 2016–. Itu pun harus diawali kegagalan, di Piala Eropa 2004. Ronaldo bersama Portugal tumbang dari skuat Yunani, di rumah sendiri. Tak cuma kalah di final, juga di laga pembuka. Sempurna bukan?