Membicarakan setiap keputusan bersama pasangan seharusnya sudah menjadi kewajiban dalam membangun rumah tangga. Hal itulah yang menjadi pelajaran berharga bagi pasangan suami-istri, Jaki (45) dan Seli (43), keduanya nama samaran.
Berperawakan kekar dan berpostur pendek, sewaktu muda Jaki terbiasa hidup keras banting tulang demi menambah penghasilan orangtua. Terlahir dari keluarga sederhana, ayah petani dan ibu berkebun, Jaki yang besar di salah satu kampung di Kabupaten Tangerang tumbuh menjadi pemuda pekerja keras dan pantang mengeluh. Tak heran, Jaki memiliki tubuh kekar dan berotot. Meski begitu, kalau dilihat dari cara berbicara lengkap dengan senyum hangatnya, anak kedua dari lima bersaudara itu tampak ramah dan bersahaja. Ditemui wartawan di salah satu pasar di Kota Serang, Jaki bercerita tentang kisah rumah tangga yang sempat didera masalah.
Lain Jaki lain pula dengan Seli. Wanita yang tinggal di kampung sebelah dari rumah Jaki itu memiliki paras cantik. Namun lantaran jarang berhias dan tidak bergaul dengan wanita kota, sekilas Seli tampak biasa. Seperti diceritakan sang suami, katanya, kalau saja Seli mau memakai make-up dan berpakaian modis, pasti cantik luar biasa layaknya artis ibukota. Widih, masa sih, Kang?
“Wih benar, Kang. Sumpah enggak bohong. Istri saya itu cantiknya alami. Kayak primadona desa gitu,” ungkap Jali.
Padahal, Jaki mengaku, sang istri terlahir dari keluarga berada. Ayah punya banyak sawah dan tanah, ibu juga mempunyai bisnis warung sederhana, anehnya, seolah memang tak tertarik dengan gemerlap kehidupan dunia, Seli berpenampilan sederhana. Anak terakhir dari tiga bersaudara itu menjadi anak kesayangan orangtua.
Singkat cerita, mungkin sudah jodoh dari Yang Maha Kuasa. Hubungan pertemanan kedua orangtua menjadi jalan menuju pelaminan. Berawal dari obrolan santai, ide menikahkan kedua anak mereka pun menjadi rencana serius yang wajib diwujudkan.
Tak menunggu waktu lama, segala persiapan diatur orangtua, Jaki dan Seli pun melangsungkan resepsi lamaran. Hebatnya, mereka langsung merasa nyaman dan mencintai satu sama lain. Dua bulan kemudian, pernikahan pun dilaksanakan. Mengikat janji sehidup semati, Jaki dan Seli resmi menjadi sepasang suami istri.
Di awal pernikahan, dengan situasi yang baru saling mengenal, Jaki dan Seli lebih banyak diam seolah ingin menjaga perasaan satu sama lain. Meski begitu, dengan sikap lembut dan kalemnya, Jaki mampu mengontrol sang istri menjadi wanita yang manut pada suami.
Terlebih, Seli juga termasuk perempuan yang tidak neko-neko. Asal bisa menerima dan menyayangi, ia akan baik dan melayani suami setulus hati. Ibarat sepasang raja dan permaisuri, rumah tangga mereka rukun sejahtera. Dengan gelimang harta fasilitas orangtua, keduanya hidup bahagia.
Tak terasa, berjalan dua tahun usia pernikahan, lahirlah anak pertama yang membuat hubungan mereka semakin mesra. Kedua keluarga pun tampak bergembira menyambut kehadiran sang bayi laki-laki lucu anak Seli. Hebatnya, seolah meresapi betul pepatah banyak anak banyak rezeki. Dengan kehadiran sang bayi, Jaki diberi jatah kebun dan empang untuk digarap sendiri. Widih, beruntung banget nih, Kang Jali.
“Ya alhamdulilllah, Kang. Mertua akhirnya kasih kepercayaan juga ke saya. Waktu itu saya tinggalin pekerjaan di pabrik dan fokus bercocok tanam,” ungkap Jaki.
Meski di awal-awal sempat gagal dan malah merugi, Jaki tak patah semangat. Ia terus mencoba sampai berkali-kali. Berkat keuletan serta sikap pantang menyerah, kini hasil panen kebun pepaya dan beberapa buah lainnya sering disuplai ke salah satu pasar terbesar di kota Serang. Bahkan sempat juga dikirim ke luar provinsi.
Namun yang namanya manusia, menikmati hidup berkecukupan nyatanya tak bisa lepas dari masalah. Dengan segala fasilitas yang ada, di tahun keempat pernikahan, Jaki dan Seli justru mendapat cobaan yang sebenarnya tidak besar, tapi bisa berakibat fatal. Wih, kenapa tuh, Kang?
Melihat peningkatan pesat yang dialami Jaki dalam berkebun. Tampaknya membuat beberapa saudara menaruh harap akan kebaikannya. Dua orang lelaki yang masih ada hubungan saudara dengan sang istri bertamu sore hari. Kebetulan waktu itu Seli sedang di rumah orangtua.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul membahas hal tak jelas, kedua saudara itu langsung berbicara ke inti percakapan. Mereka hendak meminjam uang untuk modal usaha. Meski awalnya Jaki tampak ragu, tetapi ia tak bisa mengelak ketika mereka bercerita kisah masa kecil sang istri yang sering dibantu dan bermain bersama kedua saudaranya itu.
Setelah Jaki menyerahkan uang pinjaman yang diminta, salah satu di antara mereka berpesan agar Jaki tidak memberitahu hal ini kepada sang istri. Ketika ditanya mengapa, mereka mengaku tak enak hati dan menjaga nama baik keluarga. Jaki pun mengiyakan seolah tak ada beban.
Anehnya, sebulan setelah kejadian itu, ia merasa ada yang aneh dengan istrinya. Seli tak lagi romantis seperti biasa. Keseharian mereka bak dua insan yang tak saling mengenal. Duh, kenapa lagi nih, Kang?
“Waktu itu dua minggu lebih saya didiemin sama istri. Disapa enggak nyahut, disenyumin malah melengos, bahkan tidur pun dia ngadep tembok,” kata Jaki.
Sampai di suatu siang nan gersang, ibunda sang istri datang sambil memarahi. Seli pun diam tak berdaya. Jaki yang kebingungan atas apa yang terjadi, berkali-kali meminta kejelasan pada istri. Sampai Seli ikut terbawa emosi, ia menyalahkan semuanya pada suami. Loh, kok jadi Kang Jaki yang salah?
“Ya saya juga awalnya bingung, tapi setelah dijelaskan istri, ternyata kedua saudaranya itu memang lagi ada masalah. Punya utang di mana-mana sampai mau jual surat tanah keluarga. Ya saya yang kena marah akhirnya karena meminjamkan uang ke mereka,” curhat Jaki.
Akhirnya Jaki pun meminta maaf pada istri dan mertuanya. Ia mengaku salah lantaran tidak meminta izin pada istri terlebih dahulu kalau hendak meminjamkan uang. Selang tiga hari kemudian, Seli pun kembali bersikap seperti biasa. Meski begitu, ia memaksa sang suami untuk tetap terus menagih uang yang dipinjamkan kepada saudaranya itu.
Ya ampun, ada-ada saja kisah rumah tangga Kang Jaki dan Teh Seli ini. Semoga semua masalahnya cepat selesai dan jadi rumah tangga yang awet sampai mati ya. Amin. (daru-zetizen/zee/ira)