Ketika waktu tak lagi bisa terulang maka keadaan dan harapanlah yang menjadi tumpuan untuk terus mempertahankan. Mungkin seperti itulah kalimat yang cocok untuk membuka cerita kali ini. Ya, kisah seorang lelaki berstatus duda, sebut saja namanya Cueng (48), yang menikahi Siti (24), perawan muda cantik jelita.
Bagaimana tidak, mungkin karena cinta atau memang takut kehilangan Siti, Cueng seolah tak punya nyali di hadapan sang istri. Bagai ksatria yang rela turun gunung dan mengarungi lautan demi sang dewi, apa yang diminta Siti, pasti dituruti. Widih, ngeri amat sih, Kang!
“Ya begitulah, waktu itu saya takut dia ninggalin saya. Soalnya bersyukur banget bisa nikah sama dia,” curhat Cueng kepada Radar Banten.
Maklumlah, seperti diceritakan Cueng, sebelum menikah dengan Siti, ia memiliki pengalaman pahit berumah tangga. Keluarga kecil yang sempat dibina lima tahun lamanya, kandas di tengah jalan hanya karena masalah ketidakcocokan yang bersumber dari faktor ekonomi.
Kehadiran dua anak serta kenangan yang telah terlewati, tak mampu membuat keputusan serta keinginan sang mantan istri terbantahkan. Mungkin karena sudah tak tahan atau sudah memiliki lelaki idaman, ia tega meminta perceraian. Apalah daya, Cueng pun tak bisa terus-terusan mempertahankan.
Meski keluarga dan saudara sempat menasihati serta memberi dukungan, semua itu menjadi kesia-siaan. Cueng dan istrinya resmi bercerai. Kedua anaknya ikut sang istri yang menikah lagi. Sementara, Cueng menikmati kesendirian dengan segala kesibukan bekerja di salah satu perusahaan ternama di Cilegon. Lah, katanya ada masalah ekonomi, tapi ini Kang Cueng sudah kerja, bagaimana sih, Kang?
“Saya dapat kerjaan ini setelah cerai. Pas masih sama dia, wah, rasanya sulit banget cari nafkah. Bingung, ke mana-mana ditolak. Sekalinya dapat kerjaan ya gitu, gajinya kecil, cuma cukup buat makan doang,” terang Cueng.
Cueng berasal dari keluarga sederhana. Ayah pekerja biasa, ibu sibuk di rumah. Anak kedua kedua dari empat bersaudara itu memiliki fisik tinggi, kulit sawo matang dan rambut hitam tersisir rapi. Meski begitu, kalau dari segi penampilan, ia memang termasuk lelaki yang cuek. Bergaya ala kadarnya, Cueng cowok sederhana.
Singkat cerita, selama menjalani masa-masa pencarian pendamping hidup baru, keseharian Cueng berubah 180 derajat. Mungkin inilah bentuk kasih sayang Tuhan, setelah mengalami perceraian, ia mendapat pekerjaan dan hidup berkecukupan. Sampai suatu ketika, tak sengaja berkunjung ke rumah teman, Cueng terpana melihat wanita yang lewat di depannya.
Bagai melihat uang tergeletak di jalan, Cueng tak bisa diam seolah ingin segera mendekatinya. Langsung saja, seolah jiwa muda kembali bergelora, ia menanyakan status serta alamat rumah sang wanita pada temannya. Saat itulah, Cueng tahu kalau sang wanita ialah Siti. Katanya, ia gadis kembang desa.
Pada pandangan pertama, gairah Cueng sebagai duda pencari cinta sempat meredup lantaran diberi saran untuk tidak mendekati Siti. Soalnya, ia mengaku, waktu itu ada banyak lelaki yang juga berniat menikahi. Tapi, entah dapat keberanian dari mana, keesokan harinya Cueng langsung datang ke rumah Siti dan menyatakan ingin segera menuju pelaminan. Aih, yang benar Kang?
“Atuh benarlah, saya enggak peduli dia sudah punya pacar atau belum. Kalau sudah begini mah, langsung saya datangi, uang sudah siap, segala-galanya siap, tunggu apa lagi,” tukas Cueng.
Beruntungnya, mungkin memang sudah jodoh, kebetulan saat itu Siti memang sedang jomblo. Meski awalnya tampak ragu, setelah dijelaskan kalau Cueng sudah mapan, yang namanya wanita, tentu tak bisa menolaknya. Daripada menanti yang tak pasti, Siti pun bersedia menjadi pendamping hidup Cueng.
Dengan pesta yang digelar meriah, suasana kampung Siti menjadi ramai. Berbagai jenis penjual kaki lima turut memadati sepanjang jalan dekat hajatan. Mengikat janji sehidup semati, Siti dan Cueng resmi jadi sepasang suami istri. Berjalan setahun usia pernikahan, mereka dikaruniai anak pertama, membuat hubungan semakin mesra.
Hingga berjalan tiga tahun kemudian, Siti yang awalnya penurut dan sangat patuh pada suami, entah karena bosan atau termakan bisikan teman, perlahan sikapnya berubah tak seperti biasanya. Banyak menuntut minta dibelikan ini dan itu, tingkah Siti terkesan hanya memanfaatkan Cueng.
Hal itu dirasakan lantaran sudah hampir lima tahun usia perniakahan, Cuek tak punya tabungan sama sekali. Padahal, setiap bulan ia mendapat upah besar lantaran posisinya yang strategis di perusahaan tempatnya bekerja. Katanya sih, uangnya habis diminta sang istri. Benar tuh, Kang?
“Hampir setiap tanggal muda dia minta sebagian besar gaji saya, katanya sih buat keperluan dia. Tapi, saya enggak dikasih tahu apa yang dia beli. Ternyata setelah diselidiki, uangnya sering dibagi ke saudara dan buat foya-foya,” ungkap Cueng. Astaga.
Sampai suatu ketika, mungkin karena tak tega melihat Cueng yang tak berdaya di hadapan istrinya, orangtua dan saudara menasihati agar tidak terlalu menurut pada istri. Di dalam musyawarah itulah Cueng bercerita, sang istri sering mengancam cerai kalau kemauannya tidak dituruti.
Apa mau dikata, bagai menyulut korek api, amarah seluruh keluarga terbakar membara. Sambil mengacung-acungkan tangan, sang kakak tertua menyarankan agar Cueng berani membentak, berani melawan, dan jangan mau dikendalikan. Bagai mendapat energi baru, Cueng pun melakukan apa yang disarankan.
Sebulan kemudian, ia tidak menuruti kemauan istrinya. Apalah daya, keributan pun terjadi di antara mereka. Saat itulah, Cueng sebagai suami menunjukkan jati dirinya. Dengan wajah penuh amarah, ia membentak Siti dan meminta agar tidak lagi semena-mena terhadap suami.
Hebatnya, sejak saat itu bagai harimau yang mampu dijinakkan, sikap dan perilaku Siti perlahan menjadi lembut dan menurut pada Cueng. Mereka pun langgeng sampai saat ini. (daru-zetizen/zee/dwi/RBG)