Tahun Baru Imlek 2570 Kongzili bertepatan dengan hari Selasa (5/2/2019). Warga etnis Tionghoa bahagia menyambutnya. Segala rupa disiapkan mulai dari bersih-bersih wihara hingga pernak-pernik ornamen budayanya.
Kebahagiaan menyambut Imlek tak sekadar dirasakan oleh etnis Tionghoa. Sebagian warga Kota Serang juga turut merasakannya. Tak percaya, coba saja masuk ke permukiman Mangga Dua Dalam, Kelurahan Kotabaru, Kecamatan Serang, Kota Serang.
Seminggu ini, warga di gang permukiman padat di Jalan Kapten Suwando itu tampak sibuk menyambut kedatangan musim semi itu tiba. Setiap sore mereka berlatih barongsai dan liong yang lekat sebagai kesenian asal Tiongkok.
Tua muda hingga anak-anak semringah. Menanti senja, mereka menyaksikan liukan barongsai singa selatan dan peking sai si naga utara menari-nari. Alunan musik tambur dan cecer pun mengiringi keserasian gerakan pemain di pelataran yang tak jauh dari Wihara Sukhavati.
Para pemain barongsai di kawasan itu tidak semuanya etnis Tionghoa. Warga setempat jumlahnya justru lebih banyak. Catatan pengurus Paguyuban Barongsai Mangga Dua Dalam, ada 150 anggota. Dari jumlah itu, ada 50 orang Tionghoa. Sisanya warga setempat, juga beberapa warga dari Lopang Indah, Cimuncang, dan kisaran Kota Serang lainnya.
Profesinya bervariasi. Dari yang masih berstatus pelajar, mahasiswa hingga karyawan. Agamanya beda-beda. Ada yang Konghucu, Buddha, Islam, Nasrani, dan Katolik. “Semuanya nyatu tanpa beda-bedain,” kata Robbi Sanjaya, pengurus Paguyuban Barongsai Mangga Dua Dalam, saat ditemui Radar Banten di kawasan Pasar Lama, Kota Serang, Jumat (1/2).
Kesenian yang memiliki sejarah ribuan tahun, sejak masa Dinasti Chin sekira abad ketiga Masehi itu, bagi warga Mangga Dua Dalam sudah bukan lagi milik etnis Tionghoa semata. Warga sudah menjadikannya sebagai kesenian bersama. Turun-temurun ketangkasan yang membutuhkan gerakan kungfu dan kebugaran fisik itu diajarkan.
Barongsai dan liong, ucap Robbi, tidak hanya dimainkan saat Imlek. Acara hajatan khitan, pesta pernikahan sampai ajang perlombaan sering kali ikut dipentaskan. “Selain seni, barongsai kan juga olahraga,” ucap pria kelahiran 50 tahun silam ini.
Robbi bukan seorang keturunan etnis Tionghoa. Namun, sejak kecil ia sudah membaur. “Orangtua kita ajarkan agar selalu guyub rukun. Mereka semua sudah tidak ada, jadi kita sebagai anak-anaknya harus melanjutkan ini, juga kesenian barongsai yang ada,” seru ayah satu anak ini.
Barongsai sudah begitu akrab bagi warga setempat. Mereka merasa senang bisa menjadi bagian yang memainkan sekaligus memeliharanya. “Barongsai itu kesenian, enggak ada salahnya saya ikut main,” aku Arifin, anggota Paguyuban Barangsoi Mangga Dua Dalam, yang kini nama Naga Banten Bersama.
Arifin yang juga seorang muslim mengaku, sejak kecil sudah mengenal barongsai. Bagi Arifin, Imlek dan hari besar keagamaan lain menjadi ajang silaturahmi untuk menjalin kebersamaan. “Kalau Imlek, saya sering dapat angpao dan kue keranjang,” katanya tersenyum.
Barongsai yang memiliki berat sekira lima kilogram ini dimainkan oleh dua orang. Sementara, liong membutuhkan sembilan orang. Untuk kelengkapan alat pementasan, warga Mangga Dua Dalam membuatnya sendiri.
Nah, menjelang Imlek ini mereka menyiapkan barongsai. Kerangka barongsai harus dicek kondisinya agar tampil maksimal. Perawatan kecil sudah pasti dilakukan. Jika diperlukan, dibuat ulang dari bahan anyaman bambu. “Ini memang hasil kerajinan warga sini,” ucap Robbi yang tangannya cekatan menganyam bambu dengan benang bersama puluhan warga lainnya.
Semuanya dikerjakan swadaya. Semuanya bahu-membahu gotong royong. Masing-masing kedapatan tugas sesuai keahliannya. Ada yang menyisir anyaman dan ada juga yang mengaitkan dengan benang. Lainnya, menempelkan corak dan bulu barongsai yang warnanya menyolok itu.
Saat Robbi dan puluhan warga lainnya memperbaiki anyaman singa, ibu-ibu di lokasi itu sibuk menyiapkan kue ala kadarnya. Tak ketinggalan, kopi hitam sebagai pelengkap sajian. “Ya, beginilah kami yang memang sudah membaur dari dulu,” kata Robbi.
Barongsai Paguyuban Naga Banten Bersama ini punya ciri khas tersendiri. Pengakuan Robbi, paguyubannya sedang mengembangkan barongsai dengan kesenian lokal. Alat musik tambor dan cecer dipadukan dengan nada dari ketukan gendang pencak, rampak beduk, dan rampak gendang sebagai musik pengiring.
Bahkan, pada pementasan Imlek tahun ini ada beberapa pemain yang tetap mengenakan hijab. Semua disajikan sebagai khazanah kebudayaan. “Kami terus mengembangkan kesenian yang ada. Kami jaga sebagai langkah menangkal sentimen suku dan agama melalui budaya,” kata Robbi. (SUPRIYONO)