Kehadiran masyarakat Tionghoa di Banten mempunyai sejarah panjang. Bentang panjang kehadiran mereka memberi corak warna khazanah kebudayaan. Jejaknya dapat terlihat pada beberapa artefak di kawasan Kesultanan Banten.
Sebut saja Kampung Pacinan di Kasemen. Eks Chinatown pada masa Kesultanan Banten itu masih bisa dijumpai. Salah satunya, reruntuhan menara Masjid Pacinan Tinggi yang dahulunya menjadi tempat ibadah bagi Tionghoa muslim. Sekira 500 meter dari kawasan itu juga terdapat Wihara Avalokitesvara.
Rekam jejak sejarah kehadiran bangsa Tionghoa sudah berlangsung sejak masa Kerajaan Banten Girang. Dalam dokumen pelayaran berjudul Shungfeng Xiangsong pada medio 1500, yang ditulis sejarawan Perancis Claude Guillot, sudah disebutkan kata Wan-tan dan Shunt’a untuk menyebut Banten atau Sunda.
Pada masa itu Kerajaan Banten Girang dikenal sebagai negara pesisir yang menyandarkan perekonomiannya pada perdagangan komoditas lada. Kesultanan Banten disebut menjalin hubungan dengan China atau Tiongkok. Salah satu buktinya, banyak ditemukan keramik-keramik China dari berbagai dinasti China pada abad ke-12 sampai ke-13 pada situs eks Kerajaan Banten Girang. Bukti itu kini disimpan pada Museum Purbakala Banten Lama, Kasemen, Kota Serang.
Sejarawan Banten Mufti Ali mengungkap, kemungkinan etnis Tionghoa sudah hadir pada permulaan abad. Namun, dokumen resmi menyebut kehadiran mereka sekira abad ke-10. Terlebih, pada sekira abad ke-13 sampai ke-14, perekonomian Banten Girang dengan lada sebagai komoditas utamanya mengalami perkembangan berkat digalakkan perdagangan dengan Tiongkok.
“Sejak zaman Banten Girang, mereka sudah menjadi middle man (kelas menengah) yang mengumpulkan lada dari para petani,” katanya.
Selain di Banten Girang, Mufti menyebut, beberapa situs etnis Tionghoa banyak dijumpai hingga pelosok Banten. Di antaranya, di daerah Pegunungan Cimuncang, Mandalawangi, kaki Gunung Karang, Jiput, dan Carita. Di daerah itu banyak dijumpai warga yang secara fisik mirip dengan orang-orang Tiongkok. “Jejak itu masih ada,” ujarnya.
Menurutnya, kedatangan orang-orang Tionghoa didorong dengan motif perdagangan. Namun, sebagai bangsa yang praktis dan ingin tetap survive di negeri perantauan, sebagian dari mereka juga mengembangkan pertanian. Dari proses itu, diduga mereka mulai menyebar hingga ke pelosok-pelosok Banten.
TULANG PUNGGUNG EKONOMI
Pada masa Kesultanan Banten gelombang orang Tionghoa yang datang ke Banten semakin banyak. Terlebih ketika dekade 1670-1671, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan Kaytsu dan Cakradana membangun tiga jalan yang masing-masing dibangun dua puluh rumah berbahan bata dan toko-toko di kedua sisi jalan. Pembangunan sebanyak 120 rumah itu sengaja dilakukan untuk menyambut pendatang baru yang tidak saja dari Tiongkok. “Juga mereka dari Batavia (sekarang Jakarta),” kata doktor lulusan Leiden of University Belanda itu
Selang tak lama, ketika perang melanda Fujian dan China Selatan serta terjadi kekacauan di pesisir utara Jawa akibat pemberontakan Trunojoyo pada 1676. Banten menjadi tujuan persinggahan. Tidak hanya China dari Amoy Jawa Timur, juga dari Jawa Tengah. Diketahui, ada lebih dari 1.000 orang Tionghoa yang mengungsi dan mendapat pekerjaan di Banten.
“Ini menunjukkan bahwa sultan bisa memberikan jaminan keamanan untuk hidup dan berdagang sehingga mereka nyaman,” kata penulis buku Jejak Tionghoa di Cilegon itu.
Peranan mereka juga semakin kuat tidak hanya dalam urusan perdagangan, tetapi dalam arah kebijakan istana. Terlebih, sejak Kaytzu dan Cakradana merupakan orang Tionghoa yang masuk Islam, dinobatkan sebagai syahbandar. “Dua orang ini punya andil besar dalam masa kesultanan dan membawa Banten sebagai kota metropolis. Tak heran orang Tionghoa diperlakukan istimewa karena mereka menjadi penyambung kemakmuran,” kata Mufti.
Sejarawan Banten Heritage Dadan Sujana mengatakan, masa Sultan Ageng Tirtayasa dengan dua asisten asal Tiongkok membuat Banten tumbuh menjadi salah satu bandar dagang perekonomian dunia yang menguasai jalur perdagangan internasional di Selat Sunda. Saat itulah Kesultanan Banten menjadi salah satu kerajaan Islam nusantara yang mengembangkan politik dan perdagangan maritim sebagai basis kemakmuran rakyat Banten.
Setelah era lada mulai menurun, komoditas perdagangan di Banten beralih ke tebu. Lagi-lagi, orang Tionghoa yang punya peran penting pada komoditas itu. Salah satu basis perkebunan dan pabrik tebu masa itu terdapat di kawasan Kelapa Dua. Pengusaha yang cukup ternama bernama Chyen atau lebih dikenal dengan nama Janco.
Komoditas tebu berjaya hingga masa Sultan Haji atau ketika VOC menguasai Banten. Namun, basisnya bergeser ke wilayah Tangerang. Dari penjelasan Mufti Ali, ada tiga nama yang berpengaruh. Yakni, lim Pen Kok, Tanjimko, dan Niolamko yang disebut sebagai kapiten Tiongkok masa itu.
“Dia punya kebun gula di daerah aliran Sungai Cidurian (sekarang arah Balaraja),” katanya.
Budayawan Hilmar Farid dalam naskah pidato kebudayaan berjudul Arus Balik Kebudayaan, menyebut Banten tumbuh sebagai bandar dagang yang terkenal di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan, pada saat itu dibantu dua penasihat Tiongkok yang masuk Islam bernama Kiai Ngabehi Kaytsu, kemudian digantikan Kiai Ngabehi Cakra Wardana.
Keduanya disebut berperan penting dalam membuka jalur perdagangan baru ke laut Tiongkok Selatan. Termasuk dengan Panglima Perang Dinasti Ming, Guoxingye, saat kapal panglima itu mendarat di Banten. “Para pekerja dan penduduk takjub melihat kemegahannya,” ujar Hilmar.
Sultan Ageng juga dibantu oleh orang Inggris, Denmark, dan Portugis dalam menjalankan pemerintahannya. Sementara itu, Cakra Wardana mengurus pembangunan kota, merancang, dan mendirikan bangunan batu dan jembatan. Para penasihat dari Eropa membantu Sultan Ageng mengembangkan armada kapal dan melatih pasukan militer.
Pada dekade 1670-an, menjadi masa keemasan. Banten sebagai kota perdagangan yang disinggahi pedagang dan pelaut dari seluruh dunia termasuk kerajaan maritim dari nusantara sendiri.
Dengan penduduknya yang masa itu mencapai 150 ribu jiwa, menjadikan Banten kota internasional yang setara Amsterdam, Roma, dan Seoul pada masa yang sama. Di daerah pedalamannya, pedagang Banten mengembangkan produksi pertanian termasuk tebu, pertukangan, dan sebagainya, yang membuat Banten tidak hanya menjadi daerah lalu lalang dari tempat lain. Banten juga saluran produksi dari pekarangannya sendiri.
Banten seperti juga Ternate, Makassar, dan banyak kota pelabuhan lain di nusantara adalah kota internasional. Sejarah panjang Banten memang cukup megah. Jika tidak berlebihan, ceritanya bisa disejajarkan dengan jalan cerita film The Last Samurai karya Edward Zwick atau Anna and the King karya Andy Tennant. (Supriyono)