Marno (49), nama samaran, dalam berumah tangga penuh rintangan. Istrinya, sebut saja Septi (47), orangnya panikan yang sering membuat Marno serbasalah dan tak tenang. Kok bisa? penasaran kan? Kita simak yuk ceritanya!
Selama berumah tangga, Marno sering menasihati istrinya agar selalu bersikap dan belajar tenang dalam menghadapi persoalan apa pun. Tapi mungkin karena sudah bawaan sejak lahir, Septi pasti panik dan bertingkah tak wajar setiap mendapat masalah, baik skala kecil apalagi besar. Situasi itu kerap membuat Marno pusing setengah mati.
“Seperti anak belum ngerjain PR aja diributin. Ujung-ujungnya saya dimarahi. Dibilang bapak yang enggak bisa ngedidik anaklah,” keluh Marno. Sabar Pak, itu ujian!
Kekesalan Marno itu ditumpahkannya saat ditemui Radar Banten di Kecamatan Petir. Marno siang itu sedang duduk santai sambil menyantap makan siang di sebuah rumah makan dengan lahap. Usai makan, segelas kopi hitam menemani obrolan panjang tentang rumah tangganya yang tidak dialami orang kebanyakan. Bagaimana tidak, setiap pulang ke rumah, Marno selalu dibikin resah oleh istrinya. Setiap hari selalu ada saja yang dipermasalahkan istrinya karena orangnya panikan. Padahal masalahnya tidak seberapa. “Itu istri, sering bikin kepala saya mau pecah ,“ kesalnya.
Marno sendiri berprofesi sebagai sopir pengirim barang toko material di Kecamatan Petir, Kabupaten Serang. Badannya besar, berkulit hitam, dan sedikit berkumis. Meski wajahnya sedikit seram, tetapi orangnya ramah dan senang mengobrol. Diceritakan Marno, perjumpaannya dengan Septi karena dijodohkan orangtua. Untungnya, keduanya langsung saling suka pada pandangan pertama begitu dipertemukan. Wajar Marno langsung jatuh hati pada sang betina, paras Septi cantik, kulitnya juga putih bersih. Sikap Septi dulu berbeda. Selama pacaran, orangnya pemalu. Mereka menikah enam bulan setelah pacaran.
Setahun kemudian Septi langsung mengandung bayi pertama. Sejak itu, sikap panikannya muncul. Usia kehamilan Septi ketiga bulan, Marno sudah tidak diperbolehkan kemana-mana dengan alasan takut ada apa-apa pada kehamilannya. “Terpaksa saya keluar kerja. Untung punya tabungan buat biaya kelahiran,” ujarnya.
Namun, sikap panikan Septi makin parah setelah sang jabang bayi lahir ke bumi. Setiap tengah malam saat bayinya nangis, Septi pasti panik dan parno sendiri. Bilang kalau bayinya diganggu makhluk halus, sampai-sampai meminta Marno memanggil ajengan. “Ngeselin pokoknya. Pas saya dateng bawa ustad, dia sama si bayi malah tidur sambil nyusuin,” tukas Marno. Kayaknya makhluknya juga ketiduran.
Kejadian-kejadian menjengkelkan lain akibat sikap panikan Septi sering terjadi selama mengarungi bahtera rumah tangga. Pernah juga ribut marah-marah ke anaknya gara-gara males belajar. Belum lagi urusan ekonomi. Saat itu, Marno kembali diterima bekerja jadi supir material di toko bangunan. Hidupnya berkecukupan. “Pusing dengerin dia grasak-grusuk mikirin besok makan apa, besok gimana, ini gimana,” keluh Marno. Ya wajar istrinya nanya itu Pak.
Saking tak tahannya Marno menghadapi sikap Septi itu, sampai pernah pura-pura budek dan seolah tak peduli dengan ocehan istri. Ujung-ujungnya Septi makin ngamuk. “Kalau ditanggapin bikin pusing, didiemin juga marah-marah. Serba salah pokoknya,” keluhnya.
Meski begitu, rasa cinta Marno terhadap Septi tak pernah pudar. Setelah dipikir-pikir ada baiknya Septi sering panik. Terkadang persoalan cepat beres. Rumahnya yang sederhana juga selalu bersih dan nyaman, anak-anaknya juga berprestasi di sekolah. “Ya disyukurin ajalah, takdirnya dapat istri kayak Septi. Mau gimana lagi,” tandasnya. Betul Pak, disyukuri aja. Semoga langgeng. Amin. (mg06/zai/ags)