SERANG, RADARBANTEN CO.ID – Wajah pendidikan di Provinsi Banten kembali tercoreng pada tahun 2022, lantaran banyak dugaan terjadinya praktik jual beli kursi dalam proses penerimaan siswa maupun mahasiswa baru.
Ironisnya, kasus dugaan terjadinya praktik jual beli kursi di dunia pendidikan, tidak ada satu pun yang berujung proses hukum.
Akibatnya, isu jual beli kursi dalam proses penerimaan siswa baru tingkat SMA/SMK negeri, berlanjut hingga proses penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri.
Menurut Ketua Ikatan Alumni Untirta Asep Abdullah Busro, praktik jual beli kursi dalam proses penerimaan siswa maupun mahasiswa baru di Banten, harus diusut tuntas lantaran telah mencoreng wajah pendidikan di Provinsi Banten.
“Sekolah dan kampus negeri adalah lembaga milik negara dan masyarakat, bukan milik orang per orang. Jadi bila ada oknum yang melanggar hukum harus diproses secara hukum,” kata Busro saat menjadi narasumber diskusi Refleksi HUT ke-77 Kemerdekaan RI dengan tajuk ‘Kampus Merdeka, Terjajah Isu Jual Beli Kursi Mahasiswa Baru’ yang diselenggarakan Jurnalis Banten di Plaza Aspirasi, KP3B, Kota Serang, Kamis (4/8/2022).
Ia melanjutkan, selama proses PPDB online tingkat SMA/SMK negeri, setiap tahun beredar isu terjadinya praktik jual beli kursi untuk siswa baru di sejumlah daerah. Tingginya animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke SMA/SMK negeri dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk mencari keuntungan.
“Banyak berita menyebutkan ada tarif khusus untuk bisa masuk ke sekolah dan kampus negeri, setiap proses penerimaan siswa dan mahasiswa baru. Namun sayang dugaan komersialisasi pendidikan ini sulit untuk dibawa ke ranah hukum, lantaran korban enggan melapor dan sulitnya mendapat bukti transaksi jual beli kursi,” tuturnya.
Hal yang bisa dilakukan saat ini, tambah Busro, adalah melakukan tindakan pencegahan agar praktik kotor itu tidak terjadi lagi tahun depan.
“Khusus untuk kasus dugaan praktik jual beli kursi untuk mahasiswa baru, kami minta masyarakat melaporkannya ke IKA Untirta. Berikan kami data dan buktinya agar bisa dibawa ke ranah hukum,” bebernya.
Sebagai lawyer, lanjut Busro, dirinya punya tanggung jawab untuk mengajak masyarakat agar bersama-sama memberantas praktik jual beli kursi baik di sekolah maupun kampus negeri.
“Harus ada penegakan hukum untuk menghentikan komersialisasi pendidikan, ini butuh kerja sama semua pihak termasuk media untuk memberikan efek jera kepada para pelaku,” tegasnya.
Sebagai Ketua IKA Untirta, Busro mengaku siap untuk mengusut tuntas dugaan praktik jual beli kursi mahasiswa baru di kampus Untirta. Menurutnya, siapa pun yang terlibat harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Kami juga mendengar isu miring terkait dugaan adanya praktik jual beli kursi di kampus Untirta, terutama dalam proses penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Kami minta masyarakat yang menjadi korban segera melapor ke pihak yang berwajib, karena praktik itu melanggar hukum,” urainya.
Di akhir paparannya, Busro mengajak peran serta masyarakat untuk ikut mengawasi setiap proses penerimaan siswa dan mahasiswa baru.
“Langkah konkretnya, kita bisa membuat gerakan bersama dengan membentuk aliansi masyarakat anti praktek jual beli kursi. Kita tegakkan hukum untuk kemajuan dunia pendidikan di Banten, karena praktek itu bagian dari gratifikasi yang bila dibiarkan akan terus terulang,” pungkasnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Pendidikan Banten Eni Suhaeni yang juga menjadi narasumber diskusi meyakini praktik jual beli kursi paling rawan terjadi saat proses penerimaan siswa baru di sekolah negeri.
“Setiap tahun kami selalu menerima pengaduan dari masyarakat, namun lagi-lagi tidak ada barang bukti lantaran transaksinya dilakukan di bawah meja,” katanya.
Praktik haram tersebut, lanjut Eni, tak pernah berhasil dibuktikan oleh Dewan Pendidikan Banten yang selama ini mengawasi pelaksanaan pendidikan tingkat SMA/SMK yang menjadi kewenangan Pemprov Banten.
“Begitu juga dengan Dewan Pendidikan di Kabupaten/Kota, dugaan komersialisasi pendidikan selalu ada setiap tahun tanpa pernah ada satu pun pelaku yang berhasil diseret ke ranah hukum. Padahal indikasiklnya sangat kuat, sekolah negeri overload siswa baru, rombongan belajar melebihi ketentuan, sementara sekolah swasta kesulitan mendapatkan siswa baru,” katanya.
Akibatnya, tambah Eni, praktik kotor itu berlanjut hingga proses penerimaan mahasiswa baru di kampus negeri.
“Kami tidak punya kewenangan mengawasi perguruan tinggi, itu mestinya kewenangan Dewan Pendidikan Pusat, namun sayangnya hingga tahun ini tidak ada pengurus Dewan Pendidikan di tingkat pusat,” jelasnya.
Untuk memberantas praktik jual beli kursi di dunia pendidikan, Eni berharap bisa dimulai dari tingkat perguruan tinggi. Sebab kampus adalah lembaga penjaga moral.
“Kalau ditingkat perguruan tinggi bisa dicegah, ada harapan untuk menghentikan praktek haram itu di tingkat SMA/SMK. Ini butuh komitmen dari pemerintah daerah, agar tidak ada lagi oknum pejabat, oknum wakil rakyat yang titip menitip saat proses PPDB. Sehingga tidak ada lagi masyarakat yang menghalalkan segala cara agar anaknya masuk sekolah negeri, termasuk dengan membeli kursi hingga puluhan juta rupiah,” pungkasnya.
Narasumber diskusi lainnya, Direktur Eksekutif ALIPP Uday Suhada mengatakan, praktik jual beli kursi telah mencederai peradaban dan mempermalukan Provinsi Banten.
“Praktik ini terjadi hampir di semua daerah, akibat terjadinya diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta, antara perguruan tinggi negeri dan swasta,” katanya.
Oleh karena itu, ALIPP meminta pemerintah pusat dan daerah melakukan evaluasi menyeluruh terkait pelaksanaan PPDB maupun proses rekrutmen mahasiswa baru.
“Ini tanggung jawab kita semua, bagaimana masa depan Banten bila sektor pendidikannya diwarnai praktek-praktek kotor seperti ini setiap tahun. Masa depan bangsa dipertaruhkan bila komersialisasi pendidikan tak pernah bisa dihentikan,” pungkasnya.
Reporter : Deni Saprowi