PANDEGLANG, RADARBANTEN.CO.ID – Pekerja Sosial (Peksos) di Dinas Sosial Kabupaten Pandeglang, Ahmad Subhan, menilai kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Kabupaten Pandeglang, terhadap perempuan dan anak memang seperti fenomena gunung es. Masih banyak korban yang enggan melapor atas yang dialaminya.
Penyebabnya, menurut Ahmad Subhan, beragam. Bisa karena faktor bentuk ancaman dari pelaku, faktor malu, kekhawatiran terhadap stigma negatif masyarakat, atau korban bingung harus melapor ke mana.
“Ya kalau kekerasan seksual pada perempuan dan anak itu seperti fenomena gunung es, di permukaan ramai malah di bawah permukaannya lebih banyak. Ini bukan sudah aib lagi dan ini harus dilindungi, semuanya harus berperan serta sebagai pelindungnya dan itu harus segera dilaporkan,” ungkapnya, Rabu, 24 April 2024.
Pria yang disapa Aang ini menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual di Kabupaten Pandeglang cukup banyak mencapai puluhan kasus mulai dari sejak awal Januari 2024 ini, alhasil rating tren-nya cukup signifikan.
Aang menegaskan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual di masyarakat tidak bisa hanya melalui musyawarah, tetapi harus mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh.
Menurutnya, pendekatan preventif dan promotif sangat penting dalam perlindungan perempuan dan anak. Kasus yang terjadi harus diperlakukan dengan serius, dan penyelesaiannya harus melihat implikasi yang lebih luas.
“Jadi preventif dan promotif itu sangatlah penting bagi perlindungan perempuan dan anak, dari sisi dampaknya dulu yang dilihat, jangan sampai ketika ada kasus yang terjadi di masyarakat diselesaikan dengan cukup musyawarah tidak seperti itu,” katanya.
Ia melanjutkan, pelaku kekerasan seksual dan pelecehan seksual melakukan hal seperti itu banyak berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya, baik itu mulai dari media sosial (Medsos), lingkungan pergaulannya, lingkungan sekitarnya, kebebasan berpacaran dan lain sebagainya.
Ia menyayangkan pergeseran nilai-nilai, di mana aktivitas yang pada masa lalu sering kali berkaitan dengan kegiatan keagamaan, seperti belajar mengaji setelah Maghrib, sekarang telah tergantikan dengan hal-hal yang berbeda.
“Kalau dibandingkan dengan jaman dulu, orang-orang itu ketika selesai Maghrib melakukan belajar mengaji, nilai-nilai yang seperti itulah yang di jaman saat ini sudah punah,” ujarnya.
Ia menambahkan, dalam upaya ini, perlu adanya kesadaran bersama untuk memberikan perlindungan yang efektif terhadap individu yang rentan menjadi korban fenomena tersebut.
“Sekarang itu memang era globalisasi, dan memang semua orang bisa mengakses terutama dari medsos dan lain-lain, hal itu perlu diwaspadai,” tandasnya. (*)
Editor: Agus Priwandono