SERANG,RADARBANTEN.CO.ID- Komnas Perlindungan Anak (PA) Kabupaten Serang mengaku prihatin dengan adanya putusan bebas dari Pengadilan Negeri Serang terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap terdakwa MS berusia 45 tahun yang melakukan rudapaksa terhadap anaknya sendiri.
Putusan tersebut dinilai sangat mencederai rasa keadilan sekaligus menghambat upaya perlindungan terhadap anak-anak dari kekerasan seksual.
Ketua Komnas PA Kabupaten Serang Quratu Akyun mengaku sangat prihatin atas putusan bebas yang baru-baru ini ditetapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak kandungnya sendiri.
“Keputusan ini tidak selaras dengan prinsip perlindungan anak sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang dan rasa keadilan masyarakat,” katanya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis 16 Januari 2024.
Ia mengatakan, perdamaian antara korban dan pelaku yang dijadikan salah satu pertimbangan untuk penetapan keputusan tersebut tidak kuat. Pasalnya, untuk kekerasan seksual terhadap anak, telah diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Disana tegas menyatakan bahwa kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses pengadilan. Perdamaian atau mediasi tidak dapat digunakan untuk menghentikan proses hukum, meringankan hukuman, atau menghapuskan tanggung jawab pidana pelaku. Keputusan ini mencederai upaya perlindungan hukum bagi korban dan menimbulkan preseden buruk dalam penanganan kasus serupa,” ujarnya.
Selain itu, adanya pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh korban seharusnya juga tidak bisa jadi pertimbangan putusan bebas. Pasalnya, kekerasan seksual merupakan delik biasa, bukan delik aduan, sehingga pencabutan BAP tidak membatalkan kewajiban Aparat Penegak Hukum (APH) untuk memproses kasus ini.
“Komnas Perlindungan Anak menegaskan bahwa hak anak untuk mendapatkan keadilan tidak boleh diabaikan, dan pencabutan BAP tidak boleh menjadi alasan untuk melemahkan posisi korban dalam proses hukum,” ujarnya.
Terlebih, ada narasi yang dibangun mengenai laporan kekerasan seksual ini didasarkan pada rasa cemburu korban terhadap ibu tirinya
“Kami mengecam keras narasi ini, yang tidak hanya tidak relevan, tetapi juga merendahkan martabat korban dan mengabaikan trauma yang dialaminya. Pandangan ini berisiko mengalihkan perhatian dari substansi kasus kekerasan seksual dan memperparah beban psikologis korban.
Untuk itu, pihaknya mendorong agar adanya kasasi atas putusan yang telah ditetapkan oleh pengadilan serta ingin mengawasi implementasi UU TPKS dan hukum lainnya untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap anak-anak tetap menjadi prioritas.
“Kami juga menyerukan kepada masyarakat, media, dan semua pihak untuk tetap memberikan perhatian pada kasus ini demi memastikan keadilan bagi korban dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan,” pungkasnya.
Editor: Bayu Mulyana