CILEGON,RADARBANTEN.CO.ID — Wakil Ketua DPRD Kota Cilegon, Masduki, mengecam keras lemahnya sistem pengawasan lingkungan hidup di Kota Cilegon, yang hingga kini belum memiliki laboratorium lingkungan milik pemerintah daerah. Menurutnya, hal ini membahayakan keselamatan warga, karena pemerintah tidak memiliki alat untuk mengontrol langsung dampak industri terhadap lingkungan.
“Bagaimana kita bisa melindungi rakyat kalau DLH hanya bisa menerima laporan dari laboratorium yang dibayar oleh industri? Itu bukan pengawasan, itu ketergantungan. Dan ketergantungan ini sangat berbahaya,” tegas Masduki, Kamis (22/5).
Ia mengungkapkan bahwa dalam proses commissioning PT Lotte Chemical Indonesia (LCI), salah satu proyek petrokimia terbesar di Asia Tenggara, DLH Kota Cilegon hanya menerima data dari laboratorium pihak ketiga yang dibayar oleh LCI sendiri. “Artinya, kita hanya jadi penerima data. Kita tidak punya hak verifikasi. Ini situasi yang sangat timpang,” ujarnya.
Masduki menegaskan, Kota Cilegon tidak boleh terus-menerus menjadi “kota industri tanpa kendali”. Ia menyebut bahwa pembangunan industri harus berjalan seiring dengan penguatan kapasitas negara untuk mengontrol dan menegakkan hukum lingkungan.
“Pemerintah daerah tidak boleh hanya jadi penonton ketika pabrik berdiri dan beroperasi. Negara harus hadir, dan kehadiran itu dimulai dari alat paling dasar: laboratorium pengujian lingkungan yang netral, mandiri, dan terakreditasi,” tegasnya lagi.
Sementara itu, dalam pernyataan resminya, pihak PT Lotte Chemical Indonesia melalui Senior Assistant Manager General Affair, Mohamad Kalimi, menyatakan bahwa LCI telah menunjuk laboratorium pihak ketiga yang telah terakreditasi untuk memantau dan melaksanakan kegiatan teknis selama fase commissioning.
“Penunjukan laboratorium pihak ketiga dilakukan sebagai bagian dari upaya memastikan seluruh proses berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” jelas Kalimi.
Namun bagi Masduki, hal ini tetap tidak cukup. “Akreditasi bukan jaminan netralitas kalau pendanaannya dari pihak yang diawasi. Ini prinsip dasar dalam good governance: yang mengawasi tidak boleh dibiayai oleh yang diawasi,” katanya.
Masduki menyayangkan bahwa hingga 2025, Pemkot Cilegon belum juga membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Laboratorium Lingkungan, padahal dasar hukumnya sudah sangat jelas—baik dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maupun UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Ini bukan soal anggaran. Ini soal komitmen politik dan keberpihakan kepada rakyat. Kalau kita bisa fasilitasi investasi triliunan, masa untuk bangun laboratorium kecil saja tidak bisa?” katanya lantang.
Ia mendesak agar pembentukan laboratorium ini masuk dalam prioritas APBD Perubahan 2025, dengan menyusun naskah akademik, dokumen teknis kelembagaan, serta pengadaan alat dasar dan pelatihan tenaga ahli.
“Laboratorium ini akan menjadi benteng terakhir kita. Kita tidak boleh menunggu terjadi pencemaran besar baru kita bereaksi. Pencegahan adalah bentuk tertinggi dari perlindungan,” tutup Masduki.
Editor: Bayu Mulyana