Oleh : Lukman Hakim
Dosen Universitas Pemulang
Indonesia telah menahbiskan dirinya sebagai bangsa yang multikultural, etnik dan agama. “Bhineka Tunggal Ika” bukan sekedar semboyan. Ia menjadi sebuah sistem nilai yang hidup dan benar-benar mewakili wajah Indonesia sebagai bangsa yang mengapresiasi berbagai ekspresi keberagaman budaya.
Di sisi lain, memang kebhinekaan juga kerap kali menjadi pemantik konflik horisontal di tengah-tengah masyarakat. Namun konflik tersebut tidak pernah benar-benar menjadi ancaman untuk merusak tenun nasional.
Banyak penanda yang dapat menunjukkan bahwa Indonesia benar-benar merayakan pluralitas itu dengan beragam ekspresi dan rasa aman. Ada pemandangan menarik, misalnya di setiap perayaan hari raya umat beragama.
Di setiap bulan Ramadlan, umat non-Muslim juga berebut pahala dengan Muslim yang berpuasa dengan membagi-bagikan berbuka puasa. Di saat yang Nasrani sedang beribadah Natal, pemuda-pemuda yang berasal dari ormas Islam ikut membantu pengamanan demi menjaga kekhusyu’an mereka beribadah di gereja.
Belum lagi toleransi yang diberikan oleh umat beragama lain kepada umat Hindu Bali di saat Nyepi dengan ikut berdiam diri di rumah masing-masing. Dan pemandangan menarik lainnya yang ditunjukkan oleh bangsa Indonesia untuk menghormati ekspresi keimanan masing-masing umat beragama.
Bagaimanapun budaya di Indonesia begitu erat dipengaruhi oleh unsur keyakinan (agama) yang dianut oleh pemeluknya. Oleh sebab itu budaya di Indonesia selalu terintegrasi dengan nilai-nilai agama. Dengan demikian praktek dan nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia, sudah pasti dinafasi oleh ajaran-ajaran luhur agama demi terbitnya fajar kemanusiaan.
Suburnya kehidupan beragama di Indonesia menandakan bahwa nilai-nilai yang diajarkannya memiliki relevansi dengan semangat budaya. Berbeda dengan Barat yang memandang bahwa agama harus dieksklusi di ruang-ruang privat.
Di Indonesia orang bebas mengekspresikan keyakinannya di ruang-ruang publik. Bahkan perayaan hari besar suatu agama, seperti semua umat ikut mendapat berkahnya secara bersama. Di Indonesia menjadi urusan publik, karenanya menyakiti hati salah satu umat beragama akan berurusan dengan aturan publik yang dibuat oleh Negara.
Di samping itu semangat kegotong-royongan bangsa Indonesia di dalam membantu saudara sebangsa yang tertimpa kemalangan dilakukan tanpa melihat latar belakang suku, budaya dan agama korban. Untuk itu pertumbuhan kehidupan beragama di Indonesia menjadi modal besar untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan secara bersama.
Nilai Kemanusiaan
Seberapapun beragamnya budaya dan agama tidak pernah menjadi ancaman serius, bahkan masing-masing saling menguatkan untuk memperkaya khazanah budaya nasional. Itu menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki kedewasaan berdialog untuk mengatasi perbedaan yang ada.
Budaya, begitu juga agama, memiliki seperangkat nilai untuk meneguhkan truth claim. Tapi klaim kebenaran tersebut tidak serta merta menegaskan yang terbenar di banding lainnya. Disintegrasi suatu bangsa dapat terjadi jika kita tidak mampu mempertemukan perbedaan dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Agama adalah instrumen yang paling ampuh untuk merawat keberlangsungan sistem nilai yang diyakini mengandung keluhuran. Namun begitu beragam agama juga memiliki klaim yang sama.
Oleh sebab itu, kesamaan tersebut harus dimediasi dengan dialog yang relevan untuk mencari titik kesamaan (kalimatun sawâ). Dialog tersebut, menurut Seyyed Hossein Nasr dan Friztjof Schoun harus dimulai dengan menemukan semangat esoterisme dari masing-masing agama.
Jika prinsip eksoterisme yang dimajukan, maka dialog tersebut akan semakin menjauh dari nilai yang dimaksud. Maka upaya untuk meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan semakin samar dan mustahil ditemukan karena masing-masing pihak sibuk mempertahankan dirinya yang paling benar.
Bagaimanapun sejak awal agama hadir sebagai upaya untuk meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan. Misi profetik adalah pesan kemanusiaan itu sendiri. Para Nabi adalah mereka yang diutus untuk “melawan” setiap praktek pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Pesan tawhid (monoteisme) dalam berbagai agama tidak semata dimaksudkan membersihkan praktek peribadatan dari unsur politeisme atau henoteisme. Tapi lebih pada penyelamatan nilai-nilai kemanusiaan dari manipulasi kultisme yang disebabkan oleh kepentingan ekonomi, sosial dan politik.
Sementara itu, petunjuk kemanusiaan yang paling luhur telah digoreskan dalam Kitab-Kitab Suci yang dibawa oleh para Nabi. Jikalah kita meyakini bahwa itu adalah firman Tuhan, maka adakah hak kita untuk menyangsikannya?
Tuhan memilih manusia-manusia terbaik untuk menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, pastilah agama itu bersumber dari Yang Esa. Yang membuat berbeda adalah latar belakang budaya dan audien pertama penerima dari ajaran tersebut.
Ajaran para Nabi terkoneksi satu dengan lainnya. Koneksifitas tersebut tergambar dalam ajaran Islam yang mengurutkan setiap ajaran Nabi-Nabi terdahulu hingga yang diterima oleh Muhammad. Bahkan ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum Muhammad tersebut diintegrasikan sebagai bagian dari ajaran Islam itu sendiri.
Tentang monoteisme dalam ajaran Islam mengikuti dari apa yang diajarkan oleh Ibrahim. Sedangkan aturan-aturan kehidupan sebagai petunjuk arah agar terhindar dari kesesatan yang disebabkan oleh kilauan nafsu duniawi diambil dari risalah yang diterima Musa.
Begitu juga ajaran-ajaran yang berisikan upaya menjemput kebahagiaan batini mengikuti seperti yang diserukan oleh Isa. Sementara Muhammad hadir untuk menyempurkan yang paling akhir, yaitu memperbaiki kebobrokan moral yang disebabkan oleh nafsu dan hasrat yang berlebihan.
Dengan demikian Islam lahir dari tenunan ajaran-ajaran kenabian terdahulu, lalu menjahitnya menjadi pakaiannya sendiri. Oleh sebab itu umat-umat lain yang lahir dari Nabi-Nabi yang pernah diutus Allah sebelumnya adalah umat yang terlebih dahulu menerima Kitab.
Dalam kata lain dapat disebut sebagai saudara, sesama penerima kitab. Al-Qur’an menyebutnya dengan ahl-u ‘l-kitâb. Karenanya rayakanlah perbedaan itu sebagai bagian dari persaudaraan spiritualitas, yang mana kesemuanya terkoneksi pada Tuhan Yang Satu.
Maka bahu-membahulah masing-masing umat beragama demi membangun nilai-nilai kemanusiaan dari kebiadaban yang disebabkan oleh nafsu serakah secara bersama-sama.
Maka bebaskan jiwa kita berkelana menjelajahi berbagai tradisi spiritualitas tanpa harus mengeklesi setiap keyakinan untuk berjumpa Tuhan yang kita rindukan untuk berpulang. (*)