SERANG – Ail Muldi berhasil mencatatkan diri sebagai doktor di bidang ilmu komunikasi pembangunan. Gelar akademik tertinggi perguruan tinggi itu disandang setelah berhasil mempertahankan disertasinya pada Institut Pertanian Bogor (IPB).
Disertasi berjudul Model Komunikasi dalam Manajemen Konflik Sumber Daya Alam Masyarakat Pesisir di Teluk Banten dipertahankan Ail pada sidang tertutup, pada Senin (2/9). Setelah melewati sidang tertutup, disertasi tersebut kembali disidangkan secara terbuka di aula sekolah pascasarjana IPB, pada Rabu (4/9).
Penguji disertasi akademisi muda dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) itu dilakukan komisi pembimbing yang diketuai Profesor Sumardjo dan beranggotakan Dr Rilius A Kinseng dan Dr Basita Ginting Sugihen.
Lalu, komisi penguji luar yang terdiri dari Dr Sarwiti Sarwoprasojo (Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB) dan Profesor Ahmad Sihabudin (Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Untirta), Dr Djuara Lubis dan Dr Siti Aminah (Perwakilan Prodi Fakultas Ekologi Manusia IPB). Selain komisi pembimbing dan komisi penguji luar, tanya jawab juga dilakukan dengan audiens yang hadir sidang terbuka.
Tak hanya dinyatakan lulus, pria kelahiran 6 Mei 1983 itu, berhasil mendapat nilai A. Raihan nilai tersebut mengukuhkan predikat summa cumlaude dengan grade point average atau indeks prestasi kumulatif (IPK) 4.0.
Raihan tersebut membuat Profesor Sumardjo selaku promotor dan pembimbing disertasi Ail Muldi memberi pujian. Guru besar kelahiran Sukaharjo 25 Februari 1958 itu mengibaratkan raihan nilai Ail layaknya fase perkembangan pada revoluasi industri. “Sekarang revolusi industri 4.0, Pak Ail jadi doktor juga dengan indek prestasi (IPK) 4.0. Emang doktornya milenial,” katanya disambut gelak tawa audiens yang menghadiri sidang terbuka.
Setelah berseloroh, Profesor Sumardjo menanyakan beberapa pokok persoalan yang diteliti Ail. Pakar komunikasi dan penyuluhan pembangunan itu pun memuji analisis penelitian anak asuhnya yang dinilai sangat komprehensif.
Disertasi Ail mengulas konflik nelayan di pesisir Teluk Banten dari perspektif ilmu komunikasi. Penelitian dilakukan di Teluk Banten dengan pertimbangan operasi produksi pasir laut yang sangat masif untuk pemenuhan pasar pasir uruk. Pasir itu digunakan untuk reklamasi tujuh belas pulau di Teluk Jakarta.
Selain itu, periodisasi konflik di lokasi tersebut sangat panjang dan melibatkan banyak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. “Apalagi telah sampai pada tahap kekerasan,” kata Ail.
Penelitian Ail bertujuan menganalisis konflik dan menganalisis konvergensi (penyatuan) komunikasi pihak-pihak yang terlibat konflik. Lalu, menghasilkan model komunikasi manajemen konflik sumber daya alam masyarakat pesisir di Teluk Banten.
Fokus masalah penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif untuk mendapatkan temuan yang lebih luas dan mendalam. Lokasi penelitian meliputi Desa Lontar, Pulau Panjang dan Wargasara, Kecamatan Puloampel dan Tirtayasa Kabupaten Serang.
Pengumpulan data kualitatif dikumpulkan dengan pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam kepada 16 informan. Meraka adalah aktor konflik meliputi nelayan, tokoh masyarakat, pengelola TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Lontar. Lalu, pembudidaya ikan, dan rumput laut, LSM, pemerintah daerah, dan perusahaan pemilik IUP Operasi Produksi di Teluk Banten.
Analisis data dilakukan dengan model interaktif. “Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan survei kepada 165 kepala keluarga secara proporsional dan acak,” papar Ail.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masalah utama konflik antara pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat pesisir terjadi karena komunikasi gagal dilakukan untuk mencapai konvergensi (penyatuan) kepentingan. “Ini disebabkan komunikasi yang tidak partisipatif, tidak melibatkan masyarakat saat proses izin usaha pertambangan,” ujar ayah tiga anak itu.
Ketidakefektifan komunikasi karena aliran komunikasi searah, tidak memfasilitasi ruang dialog bagi khalayak untuk menyampaikan pandangan, keluhan dan aspirasinya. Selain itu, partisipan komunikasi tidak representatif masyarakat terdampak. “Informasi yang disampaikan lebih banyak tentang kontribusi penambangan pasir terhadap peningkatan PAD,” papar Ail.
Kemudian, ada perbedaan persepsi tentang dampak penambangan pasir terhadap kerusakan lingkungan dan kelangsungan sumber daya perikanan. Peran LSM lokal sebagai sumber rujukan masyarakat pesisir yang mendorong keterlibatan konflik secara terbuka. Di sisi lain, masyarakat pesisir melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kepentingannya.
Atas penelitiannya, Ail menyampaikan solusi konflik sumber daya dan lingkungan pada masyarakat pesisir di lokasi tambang membutuhkan pengelolaan. Terutama pada tahap laten atau potensi konflik sebelum kelompok nelayan berubah menjadi grup konflik kepentingan. Pendekatannya kolaborasi dengan teknik dialog komunikasi antar pihak-pihak yang berkonflik. (ken/air/ira)