Pengangguran di Banten Naik
SERANG – Anomali perekonomian di Provinsi Banten kembali terulang. Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) meningkat, namun jumlah pengangguran juga mengalami kenaikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten merilis beberapa data strategis tentang pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten Triwulan III-2017 dan Ketenagakerjaan Banten Agustus 2017, Senin (6/11). Perekonomian Banten berdasarkan besaran produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku triwulan III-2017 mencapai Rp143,35 triliun, dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp104,00 triliun.
“LPE Banten triwulan III-2017 tumbuh 5,62 persen bila dibandingkan dengan triwulan III-2016. Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh hampir semua lapangan usaha, dengan pertumbuhan tertinggi dicapai lapangan usaha transportasi dan pergudangan yang tumbuh 9,66 persen,” kata Kepala BPS Banten Agoes Soebeno kepada Radar Banten, Senin (6/11).
Agoes melanjutkan, struktur perekonomian provinsi se-Jawa pada triwulan III-2017 masih didominasi oleh Provinsi DKI Jakarta yang memberikan kontribusi terhadap produk domestik regional bruto se-Jawa sebesar 29,75 persen, kemudian diikuti oleh Provinsi Jawa Timur sebesar 25,05 persen, Provinsi Jawa Barat sebesar 22,09 persen.
“Sementara Provinsi Banten memberikan kontribusi sebesar 6,90 persen,” ungkap Agoes.
Sementara itu, data Ketenagakerjaan Banten pada Agustus 2017 justru menunjukkan fakta sebaliknya. Tingkat penggangguran di Provinsi Banten pada Agustus 2017 tertinggi nomor dua di Indonesia.
“Banten peringkat kedua di bawah Maluku karena tahun ini yang bekerja turun. Tahun lalu, Banten lebih baik karena hanya masuk peringkat lima besar,” tutur Agoes.
Ia memaparkan, jumlah penduduk Banten yang bekerja pada Agustus 2017 sebanyak 5,08 juta orang dari jumlah penduduk sekira 12,2 juta. Ada penurunan sekira 11 ribu pekerja jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2016.
“Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pun naik dari 8,92 persen pada 2016, menjadi 9,28 persen Agustus 2017. TPT ini didominasi lulusan SMK mencapai 14,75 persen,” ungkapnya.
Berdasarkan status pekerjaan, sebagian besar penduduk bekerja di Banten berstatus buruh karyawan (2,8 juta orang). Jumlah pekerja formal di Banten lebih tinggi dibanding pekerja informal. Persentase pekerja formal mengalami penurunan dari 61,52 persen pada Agustus 2016 menjadi 58,07 persen pada Agustus 2017.
“Dari data yang kami miliki, LPE tumbuh karena tingginya kontribusi industri, namun yang bekerja kebanyakan warga pendatang yang memiliki kompetensi sesuai kebutuhan industri padat modal. Sementara di sisi ketenagakerjaan, jumlah pengangguran bertambah karena adanya PHK dan tingginya warga dari luar Banten (migran) yang mencari kerja di Banten sehingga warga Banten kalah bersaing mendapatkan pekerjaan,” ungkap Agoes.
Terpisah, Dinas Pendidikan (Dindik) Banten yang mulai tahun ini mengelola SMA/SMK sudah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengurangi jumlah pengangguran di Banten yang masih tinggi, terutama lulusan SMK. “Ini tahun pertama provinsi mengelola SMA/SMK sesuai amanat UU 23 tentang Pemerintahan Daerah. Kita inginnya lari kencang, tapi tahap awal masih fokus pada proses analisa,” kata Sekretaris Dindik Banten Ardius Prihantono, beberapa waktu lalu.
Menurut Ardius, mulai tahun ini, Dindik Banten melakukan evaluasi dan menganalisa keberadaan SMK di delapan kabupaten kota. Hasil analisa itu nantinya dijadikan dasar melakukan job matching lulusan SMK dengan pasar industri. “Kita ingin link and match antara SMK dan dunia industri. Misalnya di Kota Cilegon, harus kita kembangkan SMK metalurgi, sementara di Pandeglang kita kembangkan SMK pariwisata. Sehingga, mulai tahun depan tidak ada lagi lulusan SMK yang tidak terserap pasar industri,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pengelolaan SMA/SMK oleh provinsi masih masa transisi sehingga Dindik Banten masih belum fokus karena memikirkan soal pelimpahan guru SMA/SMK dari kabupaten kota. “Prinsipnya, jangan sampai lulusan SMK jadi pengangguran. Karena, SMK didesain memiliki kompetensi yang dibutuhkan dunia usaha,” ujarnya.
Sementara Ketua Komisi V DPRD Banten Fitron Nur Ikhsan mengatakan, Dindik Banten berada pada gugus terdepan dalam meningkatkan mutu lulusan SMA dan SMK agar link and match dengan dunia industri. “Alumni pendidikan berkontribusi pada jumlah pengangguran. Untuk itu, khususnya lulusan SMK harusnya sudah siap pakai dan terserap pasar industri,” katanya.
Fitron menambahkan, dalam masa transisi pengelolaan SMA dan SMK oleh provinsi. Dindik Banten harus memperketat perizinan pendirian SMK. Jangan sampai SMK baru hanya memproduksi lulusannya menjadi pengangguran.
Dikatakan Fitron, menekan jumlah pengangguran khususnya lulusan SMK bukan hanya tanggung jawab Dindik, tapi juga tanggung jawab OPD lain seperti Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Koperasi dan UMKM. “Ke depan harus ada pelatihan yang terintegrasi antara OPD itu sehingga lulusan SMA/SMK yang tidak bisa menjawab kebutuhan pasar kerja bisa diberikan pelatihan,” jelasnya. (Deni S/RBG)