SERANG – Provinsi Banten masih akan dilanda cuaca ekstrem selama beberapa hari ke depan. Diprediksi akan mencapai puncaknya pada Desember 2017 hingga Februari 2018. Untuk mengantisipasi perubahan iklim itu, Pemprov Banten melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) telah melakukan pemetaan wilayah rawan bencana banjir dan longsor.
Menurut Kabid Kesiapsiagaan BPBD Banten M Juhriadi, delapan kabupaten kota di Banten semuanya rawan bencana banjir. Dalam tiga tahun terakhir, dari 155 kecamatan di Banten, 109 di antaranya rawan banjir. Sementara bencana longsor, rawan terjadi di empat kabupaten kota hingga mencapai 31 kecamatan.
“Cuaca hujan dalam waktu lama, dengan intensitas yang tinggi akan mengakibatkan banjir genangan di dataran rendah, dan akan mengakibatkan longsor di dataran tinggi. Pada lahan lereng terjal serta kondisi tanah gundul, cuaca ekstrem juga bisa mengakibatkan angin puting beliung di beberapa wilayah yang mengalami perbedaan suhu yang tinggi, dan rendah di wilayah tertentu terutama di wilayah pegunungan dan pantai seperti wilayah Banten Selatan dan Barat,” kata Juhriadi kepada Radar Banten, Selasa (28/11).
Untuk penanganan kerusakan akibat bencana banjir, longsor dan angin puting beliung, BPBD Banten bekerja sama dengan BPBD kabupaten kota melakukan upaya kaji cepat untuk memenuhi kebutuhan dari yang terpapar bencana, misalnya kebutuhan logistik dan sarana prasarana. Termasuk melaporkan hasil kaji cepat itu ke BNPB Pusat.
“Bila kerusakan sarana dan prasarana lebih luas serta kebutuhan logistik lebih besar, maka sesuai SOP Kedaruratan BPBD kabupaten kota harus segera melapor kepada bupati walikota untuk segera dilakukan tanggap darurat bencana,” ungkapnya.
Tahun lalu, lanjut Juhriadi, Kabupaten Lebak dan Pandeglang ditetapkan sebagai daerah darurat bencana banjir dan longsor. “Saat ini kami terus melakukan koordinasi dengan BPBD kabupaten kota serta instansi terkait lainnya, dalam hal mitigasi dan siaga bencana,” tuturnya.
Kepala Pelaksana BPBD Banten Sumawijaya mengakui bila pihaknya belum memiliki sarana dan prasarana yang lengkap mengantisipasi bencana banjir dan longsor. “Kalau sarana dan prasarana yang dasar seperti alat evakuasi dan komunikasi sudah lengkap, tapi alat pendeteksi banjir kita belum punya,” katanya.
Dikatakan Sumawijaya, berdasarkan skenario pencegahan bencana banjir, alat pendeteksi banjir dibutuhkan cukup banyak, sebab harus dipasang di setiap kecamatan yang rawan banjir. “Di Banten kan ada 155 kecamatan, mayoritas rawan bencana banjir. Alat ini semoga tahun depan sudah kami miliki untuk dipasang di bagian hulu sungai yang melintasi setiap kecamatan yang rawan banjir,” ungkapnya.
Menghadapi cuaca ekstrem, Sumawijaya mengaku telah menginstruksikan Satuan Gugus Tugas (Satgas) Kebencanaan di Kecamatan Rawan Bencana yang beranggotakan 40 orang untuk siap diterjunkan ke lokasi setiap terjadi bencana. “Satgas Kebencanaan itu nantinya bergerak cepat ke lokasi bencana setelah menerima laporan masyarakat. Keberhasilan mitigasi bergantung dari pada partisipasi pemda dan masyarakat,” ujarnya.
Terpisah, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Agus M Tauchid mengaku dalam waktu dekat akan menggelar rapat koordinasi antisipasi perubahan iklim bersama kabupaten kota se-Banten. Menurut Agus, dampak perubahan iklim memang mengancam produksi pertanian menurun di semua daerah. “Jika hujan, Banten harus bisa memanfaatkan air yang ada sehingga lahan pertanian tidak kebanjiran, dan jika kemarau diupayakan agar tidak kekeringan,” katanya.
Seperti halnya BPBD, Distanak Banten juga telah memetakan daerah pertanian yang rentan dengan banjir dan sering mengalami kekeringan. Untuk daerah yang sering mengalami banjir seperti Kabupaten Lebak, Pandeglang, dan Serang harus dibuat kebijakan khusus untuk melakukan penanaman ketika menerima air cukup banyak dan melaksanakan panen ketika air mulai mengering. “Sedangkan untuk daerah yang mengalami kekeringan, disiapkan program pompanisasi guna mengalirkan air yang dibutuhkan petani, yang akan melakukan cocok tanam,” jelasnya.
Sementara informasi dari BMKG, cuaca ekstrem yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia akan berlangsung hingga Februari 2018. Cuaca ekstrem itu bisa mengakibatkan beberapa hal di setiap daerah di Indonesia, salah satunya adalah majunya awal musim hujan. Akibat cuaca ekstrem dari Agustus hingga November, sedikitnya ada 92,7 persen wilayah di Indonesia yang telah memasuki musim hujan termasuk kabupaten kota di Banten. Padahal, jika cuaca ekstrem tidak terjadi, 92,7 persen wilayah tersebut belum memasuki musim hujan. Dampaknya terjadi potensi banjir dan longsor.
Humas BMKG Hary Tirto Djatmiko mengatakan, cuaca ekstrem diakibatkan oleh siklon tropis Cempaka. Pusat Peringatan Dini Siklon Tropis BMKG (Tropical Center Warning Center/TCWC) berhasil mendeteksi siklon tropis tersebut tumbuh sangat dekat dengan pesisir selatan Pulau Jawa.
Adanya Siklon Tropis Cempaka di wilayah perairan sebelah Selatan Jawa Tengah itu, kata Hary, mengakibatkan perubahan pola cuaca di sekitar lintasannya. Dampak yang ditimbulkan adanya siklon tropis Cempaka berupa potensi hujan lebat di beberapa wilayah. ”Seperti di wilayah Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jawa Timur,” kata Hary.
Potensi gelombang tinggi 2,5-6 meter juga menyasar beberapa daerah. Seperti perairan selatan Jawa Timur, Laut Jawa Bagian Timur, Selat Sunda bagian selatan, perairan selatan Banten hingga Jawa Barat, Samudera Hindia Barat Bengkulu hingga Selatan Jawa Tengah. (Deni S/RBG)