Berasal dari keluarga yang kental akan keagamaan, Muin (41) nama samaran tumbuh menjadi lelaki berakhlak mulia. Dipandang penuh hormat masyarakat, kehadirannya menjadi penyejuk di tengah lingkungan salah satu kampung di daerah Kabupaten Tangerang.
Hingga suatu hari, lantaran usia menginjak masa dewasa, kedua orangtua berniat menjodohkan dengan wanita pilihan baik dari segi materi maupun keilmuan. Apalah daya, sontak hal itu meruntuhkan cinta banyaknya wanita kampung yang menaruh hati padanya.
Hanya mampu mengagumi sosok Muin secara diam-diam, akhirnya kini mereka benar-benar menelan pahitnya penderitaan seorang pemuja rahasia. Widih, sudah kayak lagunya Sheila on 7 saja pemuja rahasia.
Singkat cerita, seolah tak ingin menunda-nuda, ia lekas mendatangi sang wanita, sebut saja Siti (38) beserta keluarga. Dengan berbagai jenis makanan serta aksesoris wanita, Muin melangkah pasti memperkenalkan diri. Keluarga dan saudara-saudara Siti menyambutnya ramah.
Tanpa basa-basi, seolah yakin akan pilihan keluarga, Muin yang diwakilkan ayahnya melamar Siti hari itu juga. Sambil senyum-senyum penuh rahasia, sang wanita mengangguk menerima. Selain cantik dan berasal dari keluarga berada, Siti juga punya pekerjaan mumpuni. Ia salah satu pegawai bank di daerahnya. Widih, menang banyak dong, Kang!
Ya alhamdulillah, Kang. Waktu itu saya akui saya seneng banget kenal sama dia, uh, serasa tinggal di surga,” kata Muin
Lamaran selesai, ditentukanlah tanggal pernikahan. Namun karena kesibukan kedua keluarga dan selektif memilih tanggal, kesepakatan pernikahan pun dilaksanakan empat bulan ke depan. Meski awalnya mengeluh terlalu lama, baik Muin maupun Siti saling memaklumi.
Hari demi hari berlalu seperti biasa, Siti yang selalu menyempatkan waktu mengajar di madrasah yayasan milik sang ayah, tampak terlihat bersemangat. Wajahnya yang manis semakin membuat orang-orang terpana melihatnya. Apalagi kalau sudah melayangkan sapa dengan senyum tulusnya, bisa-bisa langsung jatuh cinta.
Sebulan berlalu, semua masih tampak biasa. Muin masih bisa mengerjakan keseharian dengan hati berdebar-debar. Bekerja, silaturahmi ke rumah teman, bahkan sesekali pergi ke tempat perbelanjaan, ia menikmati saat-saat menuju pernikahan dengan penuh kegembiraaan.
Meski dalam fase menanti, kalau untuk komunikasi, mereka tak pernah putus hubungan. Layaknya remaja yang tengah dimabuk cinta, baik Muin maupun Siti saling bersikap romantis. Mengucapkan selamat pagi dan mengingatkan makan, seolah menjadi kewajiban.
Tapi, setelah berjalan dua bulan, hal itu mulai memudar. Katanya, Muin saat itu sedang banyak kerjaan, ia dan Siti menjadi jarang berkomunikasi seperti hari-hari sebelumnya. Muin mengaku, meski tak lagi seperti biasa, tapi selalu berusaha memberi kabar pada sang kekasih tercinta. Wah-wah, mulai ada bau-bau tak sedap nih.
“Ya saat itu saya cuma punya waktu malem buat ngehubungin dia. Itu pun kadang teleponan cuma sebentar karena dia ngantuk,” curhat Muin.
Tak terasa, tinggal satu bulan lagi mereka menuju hari bahagia. Muin dengan bangga, meminta bantuan rekan-rekannya membuat desain undangan. Tak hanya itu, seolah tak ingin kehilangan moment bahagia, ia berencana menyewa fotografer profesional untuk mengabadikan pernikahan nanti. Kalau untuk konsep pernikahan, ia menyerahkan semua pada keluarga Siti.
Tapi anehnya, saat itu Siti bersikap tak seperti biasanya. Cenderung tak peduli, setiap pesan singkat yang dikirim Muin, dibalas seperlunya. Bahkan terkadang, telepon pun tak diangkat. Ketika ditanya mengapa, jawabnya selalu sedang sibuk atau tak enak badan. Astaga.
Sampai suatu hari, tepat seminggu sebelum tanggal pernikahan, Muin dikagetkan dengan kedatangan sang calon mertua. Ayah Siti bertamu bersama beberapa saudara. Saat masuk dan duduk di ruang tengah, tampak raut wajahnya menunjukkan kegelisahan.
Meski sempat menebar senyum dan basa-basi menanyakan kabar, akhirnya ia pun bicara ke inti permasalahan. Sambil mengeluarkan cincin pertunangan yang dahulu diberikan Muin untuk Siti, sang ayah bicara dengan terbata-bata. Suasana berubah tegang, bulir keringat pun tampak jelas di kening Muin. Wah, kayaknya ada yang enggak beres nih. Memang ngomong apa dia, Kang?
“Katanya, Siti minta pernikahan dibatalkan. Maksud kedatangannya sore itu untuk membalikkan cincin tunangan,” tukas Muin. Astaga, serius Kang?
“Ya begitulah, Kang. Saya sempat enggak percaya. Tapi ya sudahlah, mungkin bukan jodohnya,” kata Muin pasrah. Duh, sabar ya Kang!
Apalah daya, ya namanya tak jadi nikah, pastilah Muin galau tingkat dewa. Tak mau makan dan jarang bicara, Muin membuat khawatir keluarga. Beruntung ia memiliki teman dekat dan sahabat yang peduli. Hampir setiap hari, ada saja yang datang ke rumah untuk menghibur atau sekadar mengajak main musik.
Sampai dua bulan berlalu, Muin mulai bisa perlahan melupakan sosok Siti di pikirannya. Parahnya, seolah derita masih ingin menghampiri dirinya. Muin kembali terluka karena ternyata, Siti menikah dengan sang mantan pacar. Bagai ditusuk ribuan pedang, Muin menangis sepanjang malam.
Ya ampun, sabar ya Kang Muin. Sehat selalu dan tetap semangat. Ingat Kang, mati satu tumbuh seribu. Semoga cepat dapat jodoh. Amin. (daru-zetizen/zee/dwi)