SERANG – Ketua Himpunan Peguron Persilatan Banten (HPPB) Jamhari Sakti mengatakan, jika ada orang yang belajar debus tapi anggota tubuhnya meleleh, itu berarti guru yang mengajarkan belum bisa disebut guru. “Yang namanya guru bisa mengamati dan memantau apakah ilmu muridnya yang belajar debus itu sudah cukup atau belum,” kata tokoh persilatan dan debus Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon, itu.
Jamhari menjelaskan, sebelum seorang guru mengajarkan ilmu kekebalan tubuh kepada murid, biasanya guru mengetahui dengan indera keenamnya. “Yang namanya guru, ketika muridnya akan dites ilmu kekebalan tubuh, kan bisa melihat dengan mata batin. Apakah ilmunya sudah masuk atau belum ke dalam tubuh,” jelas pengasuh Peguron Berru Sakti, Kecamatan Ciwandan, dan pembuat golok Cilegon itu.
Dihubungi terpisah, salah satu tokoh debus Banten Suminta Idris mengaku kaget mendengar kecelakaan yang menimpa 14 warga yang belajar kekebalan. “Baru tahu saya, memang di mana itu kejadiannya? Mungkin mereka belum apa-apa, lihat-lihat itu, kan bisa saja begitu karena harus ada tata caranya,” katanya saat dihubungi Radar Banten, Minggu (26/11).
Menurutnya, debus tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus ada tata cara yang dilakukan pemain sebelum memainkan debus, baik saat latihan atau pementasan seni. “Enggak bisa begitu saja, apalagi ini bulan Mulud, waktunya mereka puasa,” terang pengasuh Pondok Debus Sorosowan Walantakan, Kota Serang.
Suminta menjelaskan, setiap melaksanakan debus wajib bagi pelaku menjalani puasa. Mereka tidak boleh meninggalkan salat lima waktu dan harus mengamalkan wirid. “Tata caranya puasa dulu dan di bulan Mulud pas ini,” ujarnya.
“Selain puasa, ada amalan, kita kan ada bacaan dari Alquran, zikir, dan mereka enggak boleh ninggalin salat lima waktu. Kan larangannya ada, enggak boleh minum, pokoknya enggak boleh ngelakuin yang dilarang Islam,” sambung anak dari pendiri padepokan debus pertama di Banten, Alm H Muhammad Idris, itu.
Tidak dilakukan syarat dalam permainan debus atau melawan pantangan yang disyaratkan, lanjut Suminta, bisa berakibat fatal.
Hal senada disampaikan pengasuh debus dari Pondok Asyifa, Kota Serang, Iip Nukip. Menurutnya, puasa, salat lima waktu dan membaca Alquran menjadi hal yang wajib dilakukan. “Harus ada tata cara karena debus bukan main-main,” katanya.
Kata dia, tidak hanya dibutuhkan keberanian semata. Tata cara sebelum memainkan debus yang bersangkutan harus membersihkan hati, pikiran, dan nafsu. “Makanya, puasa itu untuk melawan nafsu. Jangan pikiran kotor, kita mau ujub sombong saja bisa celaka,” katanya.
Iip mengatakan, setiap wirid atau bacaan yang diamalkan dalam permainan debus berbeda-beda. Misalnya, wirid untuk peragaan tusuk jarum, permainan bara api, atau permainan golok. “Itu lain-lain, masing-masing kunci. Kalau di Banten hijib Rifai (wirid), kalimat-kalimat dari bacaan Alquran,” ujar Iip.
Doa tersebut, menurut Iip, sebagai bentuk memasrahkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Dengan itu, semua kekuatan yang dimiliki manusia tidak lepas dari kuasa Tuhan. “Air keras ke besi saja merusak, apalagi ke tubuh manusia. Makanya, harus dilindungi tubuh kita,” kata Iip yang mengaku hendak pergi riungan itu.
Namun, kata Iip, kecelakaan bisa saja terjadi karena ada pikiran yang mengganggu. “Ragu-ragu bisa celaka juga, kalau menjelang beduk kita masih main itu bisa celaka. Makanya, kalau main (debus-red) harus direm dulu pikiran-pikiran jelek, tutup dulu, biar enggak terganggu konsentrasi karena kita manusiawi, ada sifat nafsu segala yang perlu kita jaga,” tambahnya.
SYIAR DAN SENI
Permainan debus bukan hanya sekadar tontonan semata. Permainan yang identik dengan kekuatan fisik itu mulanya diajarkan sebagai media untuk membangkitkan mental sekaligus syiar Islam di zaman Kesultanan Banten
Dari beberapa informasi yang dihimpun, debus sudah ada sejak masa Kesultanan Banten masa kepemimpinan Sultan Maulana Hasanuddin. Debus di Banten berkembang pada masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.
“Masa Sultan Ageng Tirtayasa debus diturunkan untuk tentara-tentara mereka sekalian mengislamkan di Banten,” kata pembina Padepokan Debus Sorosowan, Walantaka, Kota Serang, Suminta Idris.
Dalam perjalanannya, debus sempat vakum. Itu lantaran Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Haji berada dalam pengaruh Belanda. Angin segar kesenian debus baru tumbuh kembali awal tahun 1950 saat Presiden Soekarno secara khusus datang ke Banten dan meminta agar masyarakat memainkan kembali debus yang dianggap sebagai salah satu warisan perjuangan masyarakat Banten.
Keinginan Soekarno dibalas Almarhum Muhammad Idris, pendiri Padepokan Debus Sorosowan, yang secara diam-diam sejak 1948 merintis debus. Idris dan rekan-rekannya menggeliatkan kembali debus yang mati suri. “Makanya, tusuk besi dan terbang gede di era Sultan Hasanuddin masih ada di museum kita,” kata Suminta bangga.
Kisah yang sama disampaikan pengasuh Padepokan Asyifa, Cijawa, Kota Serang, Iip Nukip. Kata dia, mental pejuang Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa diterpa dengan debus dan ritual keagamaan sehingga punya kekuatan batin dan raga. “Karena itu, Belanda bisa kita usir, meski mereka punya senjata, kita punya wirid dan Allah,” katanya. (Umam-Supriyono/RBG)