Kenyataan hidup berumah tangga, tak seindahan khayalan Noni (38) nama samaran. Menjalani hari dengan lelaki yang sempat menemani hidupnya, sebut saja Muin (41), dahulu, mereka pernah bermimpi memiliki segala kenikmatan dengan modal usaha keras dan kepercayaan.
Menikah di usia muda, nyatanya membuat apa yang dahulu sering dikatakan penuh keindahan, berakhir menjadi kekecewaan. Bukan hanya soal ekonomi, lantaran tidak kuat mental dan hati, menjadi penyebab retaknya bahtera yang dibangun atas dasar cinta. Astaga, cerai Teh?
“Ya, masa lalu saya memang mengenaskan, Kang. Waktu itu kejadiannya pas saya usia 21 tahun dan Kang Muin 24 tahun. Tapi ya, kalau saya enggak melewati proses itu. Mungkin saya enggak akan bisa kayak sekarang ini,” kata Noni kepada Radar Banten.
Seperti diceritakan Noni, Muin yang merupakan lelaki pendatang dari Jawa, sudah lumayan lama tinggal di kampungnya. Ia memiliki kehidupan penuh kesederhanan serta perjuangan. Muin pemuda miskin yang sejak kecil ditinggal mati sang ayah tercinta. Jangankan bermimpi punya rumah mewah, katanya, untuk makan sehari-hari saja susah.
Menekuni segala macam pekerjaan mulai dari kuli bangungan, pedagang kaki lima, sampai membantu mengurus kebun tetangga, Muin menjalani hari penuh semangat bak hidup di dunia selamanya. Meski begitu, ia termasuk pemuda yang aktif berkegiatan di masyarakat.
“Dia itu orangnya baik, orang lain banyak yang senang dan mudah diterima di berbagai kalangan. Jadi sesusah apa pun, pasti ada saja rezeki mah,” terang Noni.
Tak jauh berbeda dengan Muin, Noni juga termasuk perempuan baik dan berasal dari keluarga sederhana. Anak pertama dari tiga bersaudara itu, sering membantu ibunya membereskan pekerjaan rumah. Maklumlah, sang ibu yang sudah tua renta, tak bisa lagi banyak bekerja.
Singkat cerita, suatu hari mungkin lantaran termakan omongan tetangga, kalau nikah itu rezeki pasti datang. Tidak membuat Muin berpikir panjang terlebih dahulu. Dengan uang seadanya, ia tak bisa menahan hasrat untuk segera mengakhiri masa lajang. Berkenalan dengan Noni yang tak lain merupakan gadis tetangga kampung, mereka sepakat menuju jenjang pernikahan.
Mengikat janji sehidup semati, Muin dan Noni resmi menjadi sepasang suami istri. Dengan pesta pernikahan sederhana, tamu undangan tampak ikut berbahagia. Sosok Muin yang bersahaja, akhirnya menemukan wanita yang akan menemani hidupnya.
Di awal masa pernikahan, Muin bersikap penuh perhatian. Seraya menjaga kelakuan agar terlihat baik di depan keluarga sang istri, meski dengan uang pas-pasan, ia sering membelikan makanan. Widih, cari perhatian nih ye.
“Ya maklumlah, Kang. Namanya juga pengantin baru, hehe,” ungkap Noni.
Seiring berjalannya waktu, Noni pun melahirkan anak pertama. Membuat hubungan mereka semakin mesra. Berkat kehadiran sang buah hati, Muin pun menjadi lebih leluasa tinggal bersama keluarga istri. Ia tak canggung lagi. Meski begitu, nyatanya keadaan harus memaksa Muin berbesar hati.
Sejak adik sang istri menikah, keadaan rumah menjadi semakin ramai. Rumah tangga adik iparnya yang kerap memberi lebih kepada orangtua, membuat Muin sering dibanding-bandingkan. Maklumlah, sang adik ipar memang memiliki suami yang berasal dari keluarga kaya. Mereka tinggal di rumah lantaran hanya sebagai tempat berteduh menunggu rumah pribadi mereka selesai dibangun. Aih, dibanding-bandingkan gimana Teh?
“Ya biasalah Kang, kalau lagi kumpul keluarga tuh ibu saya ngomongnya suka ungkit-ungkit kekayaan suami adik,” tutur Noni.
Tak hanya itu, yang namanya wanita pasti panas ketika suaminya dihina. Noni yang tak terima, kerap menangis di tengah malam merutuki kepedihan. Parahnya, sejak saat itu sikap Muin perlahan berubah. Ya mungkin karena kesal, Noni mengaku, sang suami tak seromantis saat awal menikah.
“Ya saya juga waktu itu bingung harus bersikap kayak gimana. Kalau negur adik dan orangtua enggak enak, membela suami juga bingung mau membela kayak bagaimana. Kelihatan banget Kang Muin marahnya,” curhat Noni.
Bertahan di tengah tekanan, Muin terus mencari pekerjaan. Meski dalam seminggu, ia bisa mengantongi uang seratus dua ratus hasil upah membantu tetangga seperti mencabuti rumput, memasang pagar dan lain-lain, nyatanya tak membuat keadaan berubah.
Hingga di suatu pagi, setelah melaksanakan salat subuh berjamaah di musala, Muin tampak bersiap-siap mengemasi barang. Antara sedih dan bimbang, Noni bertanya sambil tak kuasa menahan aliran sungai di pipi. Namun seolah tak lagi peduli, Muin menjawab ketus tanpa melihat sang istri.
“Ya ampun Kang. Waktu itu dia cuek banget ke saya. Mau melarang juga enggak bisa,” kata Noni.
Nani sempat memegang lengan Muin, tapi sang suami lekas menarik diri. Ketika keluar kamar, di ruang tengah, tak sengaja ia bertemu sang ibu mertua. Bagai ada bola api tersimpan di balik tatapan mata keduanya, tak ada senyum apalagi tegur sapa. Muin nyelonong pergi tanpa pamit. Meninggalkan Noni dan sang buah hati yang masih balita.
Sejak saat itu, tak ada lagi kabar darinya. Setahun kemudian sempat ada kabar burung Muin pulang ke rumah orangtua. Namun, ketika ditemui, Muin sudah pergi. Akhirnya tiga tahun setelah peristiwa itu, Noni pun menikah lagi dengan lelaki yang usianya lebih tua darinya.
Ya ampun, ya semoga bahagia dengan suami barunya Teh. Amin. (daru-zetizen/zee/dwi).