JAKARTA – Gelar perkara kasus dugaan penodaan agama yang menjerat Gubernur DKI Basuki T Purnama alias Ahok di Mabes Polri, Selasa (15/11) ternyata tak melibatkan seluruh pihak yang dianggap terkait dengan perkara itu.
Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Bachtiar Nasir bahkan tak diizinkan mengikuti gelar perkara yang dilakukan di Ruang Rapat Utama (Rupatama) Mabes Polri itu. Sebelumnya, Mabes Polri juga mengusir Panglima Laskar Front Pembela Islam (FPI) Munarman dari Rupatama.
Menurut Bachtiar, Bareskrim Polri hanya mengundang segelintir pelapor untuk mengikuti jalannya gelar perkara. Salah satu yang diundang adalah imam FPI DKI Jakarta Habib Muchsin Alatas.
“Pelapor yang diundang dari sebelas ini cuma satu atas nama FPI Jakarta, PP Muhammadiyah, dan kemudian dari elemen masyarakat,” kata Bachtiar di depan Rupatama Mabes Polri, seperti dilansir JPNN.
Dia menjelaskan, Bareskrim Polri tidak memberikan kesempatan ahli yang sudah hadir untuk memberikan pandangannya. Termasuk ahli dari pihak yang melaporkan Ahok. “Semua saksi ahlinya tidak dipakai atau dipanggil. Padahal semuanya punya hak,” jelas dia.
Karenanya Bachtiar menilai gelar perkara yang dipimpin Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto itu sudah tidak steril. Bahkan, kata dia, gelar perkara ini sudah bermuatan politis.
“Selama kepura-puraan ini terus berjalan dengan semua perrmainan politisasinya. Maka kami akan serahkan kepada umat apa reaksinya. Setelah gelar perkara ini akan rapat dan diumumkan rencana selanjutnya,” tandas dia.
Sementara Juru bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman tampak dikeluarkan dari Ruang Rapat Utama (Rupatama) Mabes Polri, Selasa (15/11) sekitar pukul 09.10 WIB. Saat itu, agenda gelar perkara penistaan agama dengan terlapor Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama hendak dimulai.
Mengenai pengusirannya, pria yang menyandang predikat Panglima Lapangan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) itu mengatakan, polisi terkesan berpihak dalam gelar perkara ini. Padahal, Munarman berperan sebagai salah satu kuasa hukum pihak yang memperkarakan Ahok.
“Saya dari pelapor kuasa hukum. Tapi tidak boleh masuk,” terang Munarman di depan Rupatama Mabes Polri.
Munarman lantas mengomentari janji pihak kepolisian yang berjanji melaksanakan gelar perkara dengan melibatkan kedua belah pihak. Namun faktanya, lanjut dia, tidak demikian.
“Kalau menurut aturannya kedua belah pihak atau kuasa hukumnya berhak hadir. Saya mewakili GNPF dari Palembang,” tambah dia.
Munarman sendiri tidak mengerti mengapa dia dikeluarkan dari ruangan tersebut. Namun dia menduga, perintah tersebut berasal dari pimpinan Polri.
“Karena atasan. Cicak sama lampu,” imbuh dia tanpa memperjelas maksud kiasan yang disampaikannya itu.
Ada 13 pelapor, sementara yang boleh masuk lima pelapor saja. Saya belum tahu total orangnya (pelapor) berapa,” tambah dia.
Karena insiden tersebut, Munarman menyimpulkan bahwa gelar perkara ini sudah tidak berdiri di atas hukum. Gelar perkara ini, dalam pandangannya, terkesan berpihak kepada Ahok.
“Ini permainan sandiwara dan pura-pura dengan tindakan polisi sudah seperti kuasa hukum terlapor dan berlagak pengadilan untuk putuskan. Ini obstruction of justice, menghalang-halangi proses peradilan,” tandas Munarman. (mg4/JPNN)