Bahasa Jawa Banten bagi pegiatnya melekat sebagai identitas diri. Event perlombaan, puisi, film hingga kamus bahasa dibuat untuk melestarikan bahasa ibu.
“Wenten, sing temurun ngan boten ketingalan. Angin rawuh saking bolongan lembedang. Sawang ning payon damel suwung. Niki malih ning jogan wenten wong siram. Wuwung kelawan merang ngan ambune kados tunuan bawang abang,” seru Muhammad Rois Rinaldi membacakan sebait puisi berjudul ‘Temurun’, di pelataran Rumah Gabungan Komunitas Sastra ASEAN (Gaksa) di Kota Cilegon, Jumat (1/3) sore.
Puisi dalam buku berjudul Beluk itu menjadi pembuka obrolan seputar bahasa Jawa Banten dengan Radar Banten. Seteguk kopi melengkapi pahitnya bahasa ibu yang tak lagi familiar di tempat-tempat kongko kawula muda. Rois menginsyafinya.
Ya, lewat puisi, Rois mencoba melestarikan bahasa Jawa Banten yang disebutnya sebagai identitas orang Banten. Bahkan, pada satu kesempatan pertemuan sastawan se-Asia Tenggara di Malaysia, penerima Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera) pada 2014 ini, memberanikan diri membacakan puisi berbahasa Jawa Banten.
Rois prihatin. Banyak anak muda meninggalkan bahasa Jawa Banten. Di sisi lain ia senang, banyak tumbuh komunitas berbahasa Jawa Banten. Baginya, itu angin segar penyadaran menggunakan bahasa ibu. Entah hanya lewat lawakan di channel YouTube, film berbahasa Jawa hingga celoteh-celoteh dalam media sosial. Apalagi yang sampai serius menulis kamus Bahasa Jawa Banten.
Geliat itu mestinya menjadi pemicu kebijakan pemerintah. Wewujudkan pelestarian bahasa ibu dengan peraturan daerah (Perda). “Secara saya pribadi tidak terlalu penting. Tapi ketika gerakan kesadaran di Banten begitu tinggi menggunakan bahasa ibu, pemerintah harus sikapi dengan regulasi,” kata pria kelahiran 30 tahun silam ini.
Pemkot Serang dan Cilegon sudah memasukkan bahasa Jawa Banten sebagai muatan lokal di sekolah. Sayangnya, itu belum cukup menunjukkan keseriusan. Sebabnya, belum banyak buku yang disediakan untuk menunjang proses pembelajaran. “Apa cukup hanya mengatakan ada mulok, tapi ketersediaan buku itu tidak ada. Tidak hanya mulok lalu selesai, pemerintah harus serius, bahkan lebih serius dari komunitas,” cetus Rois.
Pegiat Komunitas Bahasa Jawa Serang (BJS) Lulu Jamaluddin juga punya pandangan sama. Pelestarian bahasa ibu harus memiliki payung hukum di tingkat daerah. Itu sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Undang-undang itu merumuskan bahwa penanganan dalam pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra daerah menjadi kewajiban pemerintah daerah. Baik di tingkat provinsi sampai kabupaten kota.
Aspirasi Lulu dan Rois sejalan dengan penulis Kamus Bahasa Jawa Banten Khatib Mansur. Menurutnya, kebanggaan penggunaan bahasa Jawa Banten harus diikat dengan kepastian hukum. “Unesco itu mengakui ada bahasa ibu yang setiap tahun diakui, Banten juga harus dong,” katanya saat ditemui di Cilegon.
Regulasi dinilai Khatib Mansur untuk memacu sekolah dasar hingga SMA/sederajat punya tanggung jawab lebih. Syukur-syukur bisa mulai dirintis jurusan sastra khusus Bahasa Jawa Banten.
Ditemui terpisah, Peneliti Kantor Bahasa Perwakilan Banten Rukmini menyebut, bahasa Jawa Banten tidak dikhawatirkan punah karena masih banyak dijumpai penuturnya. “Itu berbeda dengan Bebasan (Bahasa Jawa Banten halus) yang penuturnya mulai sudah tidak ada,” kata Rukmini.
Sejauh ini Kantor Bahasa melakukan pemetaan, bebasan hanya di beberapa daerah. Di Kota Cilegon dijumpai di Kecamatan Ciwandan dan Citangkil. Kabupaten Serang masih bisa ditemukan di Ciomas. Sedangkan Kota Serang dijumpai di Kecamatan Walantaka.
Selain pemetaan, Rukmini mengaku, Kantor Bahasa sudah melakukan upaya revitalisasi sastra lisan. Biasanya kegiatan itu berupa pertunjukan wayang garing, ubrug, bodoran, dan lainnya yang melibatkan mahasiswa.
Belum lama ini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kota Serang juga menggelar lomba cerita bahasa Jawa Banten. Agenda rutin tahunan itu digelar untuk tingkat SD dan SMP se-Kota Serang. (Ken Supriyono)