CILEGON – Menanggapi gugatan yang dilayangkan Muhammad Kholid terhadap hibah dan bansos Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon tahun 2018-2020, Agus Rahmat selaku kuasa hukum para tergugat menilai, apa yang dilakukan Kholid selaku penggugat, menunjukkan ketidakpahaman tentang bagaimana mekanisme untuk mengajukan gugatan dalam persoalan dana hibah dan bansos yang diajukan oleh organisasi kepada Pemerintah Daerah dan bagaimana mekanisme penyelesaian perkara dalam pengajuan serta pemberian hibah dan bansos Pemerintah Daerah.
“Dalam perkara ini, Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara permohonan hibah maupun bansos yang diajukan oleh organisasi yang sah di Cilegon kepada pemerintah daerah, disebabkan perkara yang timbul bukanlah sengketa perdata (perbuatan melawan hukum) ataupun sengketa antar penggugat dengan para tergugat, karena memang tidak ada hubungan hukum antara para tergugat dengan penggugat dan bukan pula perkara pidana,” jelasnya, Senin (19/10).
Maka dari itu, lanjutnya, mempertanyakan dan/atau memperkarakan persoalan hibah ke Pengadilan Negeri adalah sebuah tindakan yang salah kaprah. Karena, masih kata Agus, kewenangan tersebut merupakan kewenangan Komisi Keterbukaan Informasi Publik.
“Dan bila menyangkut pemberi hibah, maka merupakan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia yang mempunyai peran dan fungsi untuk mengawasi penyelenggaraan Pelayanan Publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintah, baik Pusat maupun daerah, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara serta Badan Swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 UU No 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia,“ katanya.
Ia menambahkan, jika kemudian Penggugat menginginkan keterbukaan dari Penyelenggara Pemerintahan, seharusnya Penggugat tidak mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri Serang namun seharusnya melalui Komisi Keterbukaan Informasi Publik sebagaimana telah diatur dalam UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik menjelaskan bahwa lingkup badan publik dalam Undang-undang ini meliputi lembaga Eksekutif, Yudikatif, Legislatif, serta penyelenggara Negara lainnya yang mendapatkan dana dari anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mencakup pula organisasi non pemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perkumpulan serta organisasi lainnya yang mengelola atau menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD,” jelasnya.
Mempertanyakan tentang hibah atau menyatakan keberatan tentang hibah/bansos kepada penyelenggara publik, maupun penerima hibah/bansos adalah bukan perkara perdata maupun pidana.
Oleh karena, perkara yang diajukan oleh Penggugat adalah perkara administrasi pelayanan publik, tentang hibah dan bansos. Bukan perkara sengketa perdata, bukan sengketa hak, dan bukan perkara pidana.
“Maka Pengadilan Negeri tidak punya kewenangan untuk mengadili dalam perkara ini,” tambahnya.
Agus juga menyatakan, dalam gugatan, Penggugat hanya memberitahukan bahwa Penggugat adalah warga masyarakat di Kota Cilegon dan tinggal di Cilegon, dan tidak menyebutkan dalam kapasitas sebagai apa melakukan gugatan, karena bukan merupakan bagian dari organisasi para tergugat, juga bukan bagian dari perangkat para turut tergugat.
Sehingga, lanjutnya, dapat dikatakan, Penggugat bukanlah bagian dari pihak yang dapat melakukan gugatan, karena tidak ada perkara apapun antara penggugat dengan tergugat dan para turut tergugat.
“Hal ini menjadi sesuatu yang sangat penting dan mendasar. Karena bukan menjadi bagian dari para tergugat dan para turut tergugat dan tidak ada hubungan hukum serta keterkaitan antara penggugat dengan para tergugat dan para turut tergugat, sehingga penggugat tidak mempunyai dasar untuk menjadi pihak dalam perkara ini melakukan gugatan,” ungkapnya.
Apabila Penggugat nyata-nyata tidak dapat memberikan bukti sebagai apa atau dalam kapasitas yang bagaimana untuk mengajukan gugatan dalam perkara A Quo, sambungnya, dengan demikian maka penggugat tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan (persona standi in judicio).
“Dengan demikian maka gugatan ini tidak memiliki syarat formil. Oleh karenanya kami mohon kepada Yang Mulia Majlis Hakim Pemeriksa Perkara dan mengadili perkara ini berkenan memerintahkan Penggugat untuk menyampaikan setidaknya menunjukkan dalam kapasitasnya dan keterkaitan dengan organisasi para tergugat dan/atau para turut tergugat,” ujarnya.
Menurut Agus, bahwa posita dan petitum yang diuraikan dalam gugatan yang diajukan oleh Penggugat tidak memiliki kesesuaian.
Dimana dalam posita, lanjutnya, Penggugat hanya menguraikan tentang dugaan-dugaan atau bermain opini yang terjadi dalam pengajuan maupun pemberian hibah oleh pemerintah daerah Cilegon tahun anggaran 2020.
“Penggugat dalam posita hanya menduga, mereka-reka maupun berasumsi bukan berdasarkan fakta. Sehingga tanpa dapat menguraikan secara pasti dan terang. Sedangkan di bagian petitum, Penggugat langsung mengajukan tuntutan-tuntutan yang tidak didasari dengan dalil dan fakta hukum yang kuat yang diuraikan dalam posita. Karena antara posita dan petitum tidak bersesuaian, maka gugatan A Quo menjadi tidak jelas dan kabur,” ujarnya.
“Karena itu, sudah selayaknya gugatan A Wuo harus ditolak atau setidak-tidaknya gugatan A Quo dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard) oleh Majlis Hakim Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara A Quo,” ujarnya.
Hal tersebut, sambungnya, sesuai dengan Yurisprodensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No 67 K / Sip / 1975 tanggal 13 Mei 1975 yang menyatakan, bahwa karena petitum tidak sesuai dengan dalil-dalil gugatan (posita) maka permohonan kasasi dapat diterima, dan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di batalkan. (Bayu Mulyana)