JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan terkait skema baru dana bantuan operasional sekolah (BOS), syarat mendapatkan dana BOS untuk guru honorer harus memiliki Nomor Unik Pendidikan dan Tenaga Pendidikan (NUPTK) mendapat protes.
Federasi Guru dan Tenaga Honorer Swasta Indonesia (FGTHSI) mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Menkdikbud) Nadiem Makarim untuk menghapus persyaratan tersebut.
Dalam skema baru dana BOS, guru honorer mendapatkan gaji dari dana BOS hingga maksimal 50 persen yang dari sebelumnya hanya 20 persen. Namun, skema baru tersebut akan sia-sia karena ada syarat NUPTK yang tidak dimiliki oleh semua guru honorer.
“Kalau NUPTK (jadi) persyaratan, banyak (pemerintah) kabupaten atau kota tidak mau berikan surat keputusan (SK) NUPTK. Saya sudah senang 50 persen, tapi ternyata tidak semua mendapatkan. Jangan sampai jadi bumerang,” ujar pembina FGTHSI Didi Suprijadi, di Jakarta, Sabtu (15/2).
Dia menjelaskan, banyak pemda yang tak mau mengakui guru honorer karena takut diwajibkan untuk membayar gaji guru honorer. Karenanya, banyak yang tak mengeluarkan SK NUPTK.
“Dia tidak mau mengakui. Disuruh kerja iya, tapi statusnya tidak diakui. Zalim tidak? Zalim,” ujar Didi.
Untuk itu, dia mengingatkan kebijakan skema baru dana BOS jangan sampai menjadi bumerang bagi Kemendikbud. Menurut dia, guru honorer cukup terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) saja.
Dia mengatakan, saat ini hanya sepuluh persen guru honorer yang memiliki NUPTK dari 1,1 juta guru honorer. Artinya, kurang dari 100 ribu mengantongi NUPTK.
Sementara itu, pengamat pendidikan Budi Koesoema menilai skema baru dana BOS dianggap akan mengurangi biaya operasional sekolah, di mana alokasi gaji guru honorer dinaikkan dari 20 persen menjadi maksimal 50 persen.
“Dana BOS bisa habis hanya untuk bayar guru honorer. Ini tentu akan memengaruhi biaya operasional sekolah,” ujar dia kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Minggu (16/2).
Sebelumnya, Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Ade Erlangga Masdiana mengatakan, dalam skema baru dana BOS bisa digunakan untuk membayar gaji guru honorer. Penggunaannya maksimal sebesar 50 persen dari dana BOS.
Namun, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan sebelum melakukan hal tersebut. Di antaranya adalah guru yang dapat menerima honor dari dana BOS bukanlah guru yang baru direkrut tahun 2020. Selain itu, guru tersebut juga harus memiliki NUPTK.
“Tapi, syaratnya guru yang dibayarkan dengan dana BOS tadi, pertama, tidak boleh guru yang baru direkrut tahun 2020, enggak boleh. Batas waktunya itu tanggal 31 Desember 2019, jadi itu data guru non-ASN yang ada di Dapodik,” ujar Erlangga.
Lanjut dia, pembayaran guru honorer dengan menggunakan dana BOS merupakan bentuk kepedulian dari Kemendikbud. Sebab, kata dia, terdapat keluhan dari para guru yang hanya diberi honor Rp150 ribu hingga Rp300 ribu.
Meski demikian, kata Erlangga, dana BOS tidak dapat digunakan untuk membayar honor guru yang telah diangkat menjadi ASN. Dia menuturkan, jika kepala sekolah melanggar aturan itu maka akan dikenakan sanksi.
“Tapi, memang dana BOS ini enggak boleh untuk guru yang ASN. Kalau untuk ASN, nanti kena (sanksi-red) itu kepala sekolah atau pengelola BOS-nya,” ujar Erlangga.
Kasubdit Dana Alokasi Khusus Nonfisik DJPK Kementerian Keuangan Kresnadi Prabowo Mukti mengungkapkan alasan pemerintah merombak skema penyaluran dana BOS, salah satunya adalah keterlambatan sekolah menerima dana itu sehingga terkadang harus menalanginya.
“Jadi, poinnya adalah dalam rangka menjawab beberapa keterlambatan dari proses pembelajaran siswa,” kata Kresnadi.
Kresnadi mengatakan, tahun lalu, memberikan dana BOS pada bulan Januari dan Februari. Namun, dana itu baru diterima pihak sekolah pada Maret atau April. Menurut dia, hal itu terjadi karena adanya dinamika yang berbeda dalam koordinasi di masing-masing pemda.
Nah, dampak dari keterlambatan itu menimbulkan sejumlah permasalahan di sekolah. Salah satunya adalah kepala sekolah terkadang harus menalangi dana untuk biaya operasional.
Harapan dia, dengan penerapan skema yang baru itu sekolah dapat langsung menggunakan dana yang diberikan sesuai kebutuhan masing-masing. Kresnadi menjelaskan, hal itu serupa dengan skema penyerahan dana desa.
“Jadi, bagaimana terjemahkan belanja itu bisa langsung sampai ke tingkat yang paling rendah atau yang paling pucuk lah. Sama dengan dana desa,” tukas dia.(fin/alt/ira)