RA Tuti Marini Puspowardojo merupakan sosok ibu yang sangat sederhana. Demikian pula dengan pengharapannya jelang melahirkan Bacharuddin Jusuf Habibie, 80 tahun silam.
Permohonan satu-satunya kala itu adalah diberikan anak yang berbakti kepada Tuhan dan orang tuanya.
Habibie lahir 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan. Anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA Tuti Marini Puspowardojo.
Namun, nasib berkata lain, sang putra kelak menjadi salah seorang putra terbaik di Tanah Air. Pria yang akrab disapa Habibie itu akhirnya menjadi Presiden Ketiga RI.
Bersama suaminya, Alwi Abdul Jalil Habibie, Tuti berhasil mendidik membesarkan Rudy, sapaan Bacharuddin Jusuf Habibie, menjadi sosok yang sholeh sekaligus jenius. Rajin membantu orang tua, mengaji, dan shalat, Rudy juga brilian sejak kecil disekolah.
”Sejak dulu hingga sekarang, Bapak (Habibie) memang tidak pernah meninggalkan salat,” kisah keponakan Habibie, Adrie Subono, kepada Jawa Pos.
”Sekarang pun jika waktu salat tiba, pengawalnya selalu mengingatkan Bapak,” lanjutnya.
Habibie kecil memiliki memang watak yang sangat berbeda dengan tujuh saudaranya. Dia senang mengerjakan sesuatu dan juga gemar membaca berbagai macam buku.
Habibie juga memiliki sifat yang lebih serius. Dia akan bermain apabila sudah menyelesaikan pekerjaan rumah.
Sejak kecil ia juga sudah gemar membuat kapal terbang dengan menggunakan Blokken (micano).
Pada 3 September 1950 sebuah kejadian yang tidak terduga terjadi. Kejadian itu akhirnya membuat hidup keluarga Habibie berubah. Ayah Habibie terkena serangan jantung secara mendadak.
Ayahnya sempat ditangani oleh Dokter Tek Irsan dan Overste Soharto. Namun, nyawanya tidak tertolong.
Sepeninggalan Alwi, Tuti merasa sangat sedih. Bukan hanya kehilangan belahan jiwa. Lebih dari itu, dia kehilangan orang yang akan membantunya mendukung delapan anaknya untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak.
Tuti pun akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan Pare-Pare dan hijrah ke Pulau Jawa. Mereka sekeluarga pun berangkat menuju Jakarta dengan menggunakan kapal laut.
Setelah beberapa lama di Jakarta, Habibie yang mulai merasa tidak betah minta dipindahkan ke Bandung. Dari sekolah HBS (sekolah menengah zaman kolonial), Habibie pindah ke SMP 5 Bandung.
Ia lalu melanjutkan sekolah ke SMAK di Dago. Di SMA prestasi Habibie tampak sangat menonjol terutama pada pelajaran eksakta.
Selain dikenal pintar, Habibie juga dikenal sangat ramah baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Ia juga senang bersahabat dengan siapa saja, penuh kegembiraan dan sering berkelakar.
Setelah pendidikannya di jenjang SMA telah usai Habibie ingin melanjutkan pendidikannya di ITB yang terletak di jalan Ganesha.
Di SMAK Dago itu juga, Habibie bertemu dengan sosok Hasri Ainun Besari yang menjadi cinta sejatinya. Menurut Habibie, Ainun adalah adik kelas satu tahun di bawahnya.
Kulit Ainun yang hitam karena aktif berkegiatan ekstrakurikuler membuat Habibie sering meledeknya. Habibie bahkan punya julukan tersendiri untuk Ainun.
“Gula jawa! Karena dia hitam manis. Tapi setelah dewasa dia menjadi gula putih. Putih dan cantik,” tutur Habibie, lalu tertawa mengingat kenangan itu. (JPG)