SERANG – Rencana Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mendorong tradisi Seba Baduy dilaksanakan hingga ke Istana Negara, mendapat sambutan positif dari Pemprov Banten. Namun, tidak dengan warga Baduy, mereka keberatan bila Seba dilakukan hingga ke Jakarta.
Menurut Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija, tradisi seba dilakukan sesuai amanat para leluhur. Seba hanya dilakukan di Banten. “Sejarahnya dari dulu geh, seba kami lakukan hanya di wilayah Banten. Kami enggak sanggup kalau harus seba ke Istana Negara,” kata Jaro Saija kepada Radar Banten, kemarin.
Kendati begitu, Jaro Saija mengaku warga Baduy bersedia ke Jakarta menemui Presiden bila diundang ke Istana Negara. “Kalau diundang mah, dan bukan untuk seba. Perwakilan Baduy siap ke Jakarta. Tidak sampai seribu orang. Lima atau sepuluh orang kami pasti akan datang,” tuturnya.
Tahun ini, lanjut Jaro Saija, warga Baduy masih menunggu keputusan Presiden terkait pengisian kolom agama di KTP elektronik. “Kami kalau diundang Presiden, mau minta Slam Sunda Wiwitan dicantumkan dalam kolom KTP. Saat ini masih dikosongkan,” akunya.
Terpisah, Budayawan Banten yang fokus meneliti soal warga Suku Baduy, Uten Sutendi menilai, wacana Seba Baduy dilaksanakan hingga Istana Negara tidak masuk dalam amanat para leluhur warga Baduy. Menurutnya, Seba Baduy itu sesuatu yang sakral yang hanya ada di Banten. Tiap gerak dan ucapan yang disampaikan warga Baduy dalam simbol seba mengandung pesan luhur. “Seba sesungguhnya bukan semata suguhan tontonan (hiburan), tapi sajian ritual yang harusnya jadi tuntunan bagi warga dan masyarakat dunia,” katanya.
Kesakralan dan kemurnian makna seba harus dijaga, karena itu tidak boleh diadopsi atau dipinjam namanya untuk kegiatan gelar atau festival wisata yang lain untuk menghindari ada kesan mengomersialkan nama Seba Baduy dan mengotori hati dan pikiran orang Baduy melalui hiburan kesenian produk luar. “Seba Baduy boleh saja dijadikan event tahunan wisata Banten, tapi sifatnya terpisah dengan sajian promosi obyek (destinasi) wisata lainnya untuk memberi informasi lebih utuh dan mendalam tentang makna seba bagi warga Banten dan dunia,” tambah Uten.
Pemerintah pusat dan daerah, lanjut Uten, seharusnya membuat event khusus Seba Baduy yang terpisah dengan event budaya Banten lainnya. “Seba Baduy sejatinya dilaksanakan dengan khidmat, sakral dan penuh makna. Bila ingin mengemas kegiatan wisata, gelar saja Festival Baduy, di dalamnya disajikan lengkap tentang semua hal yang terkait dengan kesenian, dan kebudayaan orang Baduy,” jelasnya.
Uten yang juga Ketua Banten Club melanjutkan, Seba Baduy dimulai sejak Banten menjadi sebuah pemerintahan resmi yang dipimpin oleh kesultanan. Jauh sebelum itu, orang Baduy sudah ada sebagai penganut ajaran Sunda Wiwitan. “Seba bukan bentuk seserahan atau upeti dan tak ada kaitan dengan urusan politik. Seba sebagai pesan luhur kepada siapapun kepala negara yang diberi kuasa mengatur negeri. Pesan yang disampaikan ialah para penguasa agar menjaga alam (ekosistem) Banten sebagai inti jagad. Sebab jika alam lingkungan di wilayah Banten rusak seluruh kehidupan umat manusia di bumi akan ikut rusak,” sambung Uten.
Ia pun mengaku miris dengan kegiatan seba yang selama ini dicampuradukan dengan kegiatan budaya lainnya. “Saya miris dan gak tega melihat mereka berjalan ke beberapa titik, lalu tempat tidur mereka yang menurut saya kurang manusiawi. Tiap tahun seperti itu. Pesan mereka cuma didengar dan ditampung oleh para elite sebagai bagian dari seremonial,” kritik Uten. (Deni S/RBG)