SERANG – Jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Banten menolak membebaskan para terdakwa kasus dugaan korupsi hibah ponpes tahun 2018 dan 2020 senilai Rp183 miliar. Menurut JPU, surat dakwaan yang disusun sudah sah menurut hukum.
“Menyatakan bahwa surat dakwaan penuntut umum sah menurut hukum,” ujar JPU Kejati Banten M Yusuf Putra saat membacakan jawaban atas eksepsi para terdakwa di Pengadilan Tipikor Serang, Kamis (16/7).
Menurut Yusuf, surat dakwaan telah disusun dengan cermat dan lengkap. Selain itu, JPU telah menjelaskan mengenai fakta perbuatan melawan hukum materiil dan formil berupa norma perundangan-undangan yang dilanggar. Hal itu menjawab keberatan terdakwa mengenai tidak jelasnya peran para terdakwa dalam kasus tersebut. “Yang dilanggar berkaitan perbuatan para terdakwa termasuk terdakwa Irvan Santoso,” kata Yusuf dihadapan majelis hakim yang diketuai Slamet Widodo.
Terkait keberatan Irvan Santoso mengenai keterlibatan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten dan Forum Silaturahim Pondok Pesantren (FSPP) Banten yang dianggap terlibat dalam perkara tersebut, JPU menyerahkan kepada putusan majelis hakim. “Menurut hemat kami bukan masuk materi eksepsi (anggapan keterlibatan Sekda dan FSPP-red), oleh karena itu merupakan sepenuhnya kewenangan majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus pokok perkara,” kata Yusuf.
Sebelumnya, Irvan menganggap Sekda dan FSPP Patut dimintai pertanggungjawaban atas hibah yang merugikan negara lebih Rp70 miliar tersebut. Menurut kuasa hukum Irvan, Alloys Ferdinand keterlibatan FSPP dalam kasus tersebut tidak lepas dari surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Banten yang dibacakan beberapa waktu yang lalu.
“Jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya tidak memasukan FSPP Banten sebagai badan hukum yang bertanggungjawab atas penerimaan uang hibah ponpes 2018,” kata Alloys.
Dikatakan Alloys, JPU berkali-kali menyebut FSPP dalam surat dakwaannya. Akan tetapi, Kejati Banten dituding tidak berani menyeret FSPP sebagai pihak yang bertanggungjawab di hadapan hukum. FSPP sendiri berdasarkan surat dakwaan JPU adalah organisasi kemasyarakatan yang menerima hibah ponpes pada 2018.
Padahal menurut JPU, FSPP bukan lembaga yang berhak menerima hibah karena bukan ponpes. “Jaksa penuntut umum tidak berani untuk memasukan FSPP Banten sebagai pihak yang dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum,” ungkap Alloys.
Oleh karena tidak dimasukannya FSPP sebagai pihak yang juga patut dimintai pertanggungjawaban maka surat dakwaan dianggap tidak lengkap. “Maka dakwaan penuntut umum dikualifisir sebagai dakwaan yang tidak lengkap,” ujar Alloys.
Karena dianggap tidak lengkap, maka dakwaan JPU dinilai tidak sesuai dalam ketentuan Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP. “Karena tidak jelas, cermat dan lengkap dalam menguraikan fakta-fakta perbuatan atau fakta-fakta yang terjadi sehingga menyulitkan hakim maupun terdakwa Irvan Santoso dalam menggambarkan perbuatan tersebut apakah murni kesalahan pribadi terdakwa atau perbuatan berjamaah,” ucap Alloys.
Alloys mengatakan mengacu pada Pergub Banten 49 tahun 2017 dan Pergub 10 tahun 2019 bahwa hibah pondok pesantren adalah tanggung jawab Sekda. Di aturan-aturan itu tertuang pedoman hibah yang bersumber dari APBD Banten dan tanggung jawab Sekda.
“Maka Sekda Provinsi Banten merupakan pihak yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukum sehubungan dengan kegiatan pemberian bantuan dana hibah uang pondok pesantren tahun 2018 dan 2020 yang diduga merugikan negara,” kata Alloys.
Berkaitan dengan kerugian negara Rp65 miliar lebih yang diakibatkan oleh rekomendasi Irvan Santoso dianggap tidak tepat. Sebab, ada mekanisme penganggaran yang berjalan di eksekutif dan legislatif. “Berdasarkan surat dakwaan yang menjerat Irvan Santoso dapat disimpulkan bahwa atas rekomendasi yang dikeluarkan terdakwa maka timbulah suatu kerugian negara tanpa menguraikan apakah rekomendasi tersebut bersifat final untuk dapat dianggarkan,” tutur Alloys. (Fahmi Sa’i)