Parmin (55) nama samaran, pasrah mengizinkan istrinya, sebut saja Nunung (52), menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. Tapi, baru setahun bekerja, Nunung malah boros dengan membelanjakan barang-barang tak perlu buat keluarga. Parjo emosi, ngambek, dan sering merongos sendiri.
Ditemui Radar Banten di Kecamatan Pontang, Parmin siang itu sedang ngopi di depan teras rumah. Setelah membereskan peralatan sawah seperti cangkul, topi, dan arit, Parmin bercerita tentang masa-masa awal rumah tangga yang penuh derita.
Parmin sebenarnya tidak rela Nunung bekerja ke luar negeri. Bagaimanapun, terpisah jauh saat awal rumah tangga merupakan penderitaan yang sulit diterima. Tapi, apalah daya, demi ekonomi yang harus tercukupi, Parmin pun terpaksa mengizinkan istrinya. “Soalnya kalau cuma cari penghasilan di Serang enggak bakal cukup,” katanya.
Apalagi, waktu itu Parmin cuma lulusan SMP dan bekerja sebagai buruh tani. Penghasilannya kecil, jangankan punya keinginan hidup sejahtera, untuk makan sehari-hari saja sudah bersyukur. Tapi, katanya sih Parmin anak yang paling nurut dibanding kakak-kakaknya. “Soalnya, cuma saya yang mau bantu bapak ke sawah,” katanya.
Di areal persawahan itulah, Parmin bertemu dengan Nunung yang juga sering mengantar makanan untuk bapaknya. Ketika makan bersama, kedua orangtua mereka sepakat menjodohkan Parmin dan Nunung. “Padahal kita belum kenal, tapi dulu mah memang begitu sih, langsung dijodohin aja,” katanya.
Setahun kemudian, tepatnya saat musim panen tiba, Parmin dan Nunung menikah. Pesta pernikahan digelar meriah, kedua keluarga berbahagia melihat anak-anak mereka resmi menjadi sepasang suami istri. “Dulu mah hiburannya ibu-ibu kasidahan aja sudah rame,” katanya.
Awalnya rumah tangga mereka berjalan lancar. Tapi, seiring berjalannya hari, ladang pertanian sering mengalami kekeringan dan gagal panen. Untuk mencukupi biaya hidup, terpaksa menjual sawah dan membuka usaha warung. Tetapi, usahanya juga tidak bertahan lama. “Kalau enggak salah dulu waktu lagi krisis moneter gitu, harga pada mahal,” kenangnya.
Karena bingung memikirkan keadaan, akhirnya Nunung berangkat ke Arab Saudi mengikuti jejak tetangga-tetangganya. Sejak itu Parmin kesepian hidup sendiri, belum genap setahun menikah, sudah ditinggal pergi. “Nasib, baru nikah sudah ditinggal ke Arab,” keluhnya.
Karena kesal, Parmin sering marah-marah. Apalagi kalau malam Jumat, saat teman-temannya yang sudah berumah tangga asyik-asyikan, Parmin malah melamun sendirian. Belum lagi ledekan orang-orang tentang nasibnya, “Saya dikatain dudalah, lelaki kesepianlah, pusing,” katanya.
Setahun kemudian Nunung mulai sering mengirimkan uang, tapi bukan buat Parmin. Uang kiriman itu untuk keluarga dan saudara-saudara Nunung, mereka foya-foya membeli barang mewah, mulai dari perabotan rumah tangga, motor, bahkan emas yang dipamerkan kepada tetangga. “Dalam hati, saya yang menderita, kok malah mereka yang bahagia,” katanya.
Enam bulan kemudian Parmin mulai tidak tahan, ia telepon istri sambil marah-marah. Waktu itu Nunung hanya diam meladeni ocehan Parmin. Sampai akhirnya, ancaman pun keluar dari mulut Parmin. “Saya bilang, kalau cuma mikirin keluarga sendiri, mending saya nikah lagi,” ancamnya. Waduh, memang maunya Kang Parmin itu mah.
Sejak itu Nunung mulai mengirimkan uang ke suaminya. Sedikit-sedikit, uang itu ditabung, Parmin menggunakannya untuk membangun rumah dan membeli sawah. Tiga tahun kemudian Nunung pulang dan disambut bahagia oleh suaminya. “Kan sekarang mah enak sudah punya rumah sendiri, simpanan sawah juga ada,” katanya.
Subhanallah, semoga langgeng selamanya ya Kang Parmin dan Teh Nunung. Amin. (mg06/zee/ira)