SERANG – Keberadaan santri dan ulama tidak lepas dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka disebut sebagai cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pernyatan tersebut dilontarkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat menghadiri safari Ramadan bersama prajurit TNI-Polri beserta komponen masyarakat di lapangan Markas Komando Grup 1 Kopassus Baladika, Kota Serang, Jumat (16/6).
Lulusan Akademi Militer (Akmil) 1982 ini memulai pembicaraannya dengan memberi pujian atas kinerja prajuritnya. Ia mengaku bangga kepada seluruh prajurit TNI karena mampu mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. “Kepercayaan dari publik berdasarkan survei sangat tinggi. Inilah yang sebenarnya harus kita lakukan,” katanya disambut tepuk tangan.
Jenderal Gatot lalu menjelaskan sejarah perjalanan bangsa Indonesia dan TNI yang tidak bisa dilepaskan dari perjuangan ulama dan santri. Penuh semangat, ia paparkan nama-nama pejuang seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Sisingamangaraja, Pangeran Diponegoro, hingga Pattimura.
Memasuki era 1928 setelah ikrar Sumpah Pemuda, kata dia, para ulama merapatkan barisan. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan dilakukan secara bersama-sama. “Tidak bisa dimungkiri, tanpa perintah, tanpa fatwa dari ulama tidak mungkin para santri bersatu,” ujarnya.
“Saya ingatkan, saat itu TNI belum lahir, jadi yang berjuang rakyat. Kalau bahasa orang sini, rakyat kumpul tidak ada tentaranya tapi dipimpin para ulamanya dengan gotong-royong, dan hanya 17 tahun berhasil,” sambungnya disambut tepuk tangan antusias orang yang hadir.
Setelah berhasil meraih kemerdekaan, menurut Jenderal Gatot, para ulama dan santri kembali ke pondok pesantren dan sekolah. Hanya sebagian yang tetap mendapat amanah untuk menjaga keamanan melalui Badan Keamanan Rakyat. “Jadi yang menjadi cikal bakal TNI, ya ulama dan para santri. Inilah yang tidak bisa dipisahkan antara TNI dan santri,” katanya.
Gatot lalu melanjutkan penjelasannya tentang hubungan TNI, ulama, dan santri yang tidak dipisahkan. Ia memulai dengan menyebut hari kelahiran TNI pada 5 Oktober 1945 yang saat itu dipimpin oleh Jenderal Soedirman yang berlatar belakang santri. “Panglima pertama TNI adalah seorang santri, Jenderal Soedirman juga guru agama,” tegasnya.
Dua bulan dari kelahiran TNI, tambah Gatot, sekutu melancarkan kembali serangannya. Hingga akhirnya, para santri mengadu kepada KH Hasyim Ashari untuk mengeluarkan resolusi jihad. “Dan berjuanglah di sana dipimpin Kiai Abbas umat bersama-sama umat Islam. Yang merobek bendera Belanda juga seorang santri,” katanya.
“Inilah yang saya katakan, tidak bisa dilepaskan antara TNI dan ulama di mana pun juga. Jadi cikal bakal TNI dan Polri ya para ulama, karena pemisahan TNI dan Polri pada saat reformasi. Ini yang harus sama-sama kita ingatkan lagi,” sambung Jenderal kelahiran Tegal, Jawa Tengah pada 13 Maret 1660.
Di akhir sambutannya, Jenderal Gatot melanjutkan sambutannya dengan cerita bijak pentingnya saling memberi, menolong, dan gotong royong. “Mari kita sama-sama mendapat kebahagiaan dengan saling memberi. Kalau ini bisa dilakukan, alangkah indah bangsa ini, tidak ada caci maki dan semuanya rukun,” katanya.
Usai tausiah dan doa dari KH Murtadho Dimyati, acara dilanjutkan dengan buka puasa bersama dan salat Magrib berjamaah. Lalu, dilanjutkan selingan hiburan musik marawis dari prajurit Grup 1 Kopassus. Acara ditutup dengan santunan kepada seribu anak yatim piatu dan Tarawih bersama.
Turut hadir Gubernur Wahidin Halim, Pangdam III Siliwangi Mayjen TNI Muhammad Herindra, Komandan Grup I Kopassus Kolonel Inf Djon Afriandi, Komandan Korem 064/MY Kolonel Inf Czi Ito Hediarto, Kapolda Banten Brigjen Pol Listyo Sigit Prabowo, Ketua DPRD Banten Asep Rahmatullah, dan jajaran petinggi TNI lainnya. (Supriyono/RBG)