SERANG – Mantan Direktur Utama PT Banten Global Development (BGD) Ricky Tampinongkol kembali terjerat kasus korupsi. Terpidana kasus penyuapan Bank Banten tersebut ditetapkan sebagai tersangka kasus kerjasama operasi (KSO) fiktif PT BGD 2015.
Selain Ricky, kasus KSO tambang emas di Bayah, Kabupaten Lebak senilai Rp5,9 miliar tersebut juga menjerat tiga tersangka lain. Yakni, mantan Direktur PT BGD Franklin Paul Nelwan, Direktur PT Satria Lautan Biru (SLB) Ilham dan Direktur PT Surya Laba Sejati (SLS) Subianto. Keempatnya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
“Dalam kasus tersebut, kita memang sudah menetapkan empat orang sebagai tersangka. Keempatnya RT (Ricky Tampinongkol-red), FPN (Franklin Paul Nelwan-red), IL (Ilham-red) dan SO (Subianto-red),” kata Direktur Reskrimsus Polda Banten Komisaris Besar (Kombes) Pol Nunung Syaifuddin dikonfirmasi Radar Banten, Rabu (3/6).
Dijelaskan Nunung, kasus tersebut bermula saat ditandatanganinya perjanjian peminjaman modal kerja (PPMK) pada Oktober 2015 antara direksi PT BGD dengan PT SLS. Isi PPMK tersebut BGD menyetorkan modal kepada PT SLS dengan jangka waktu selama satu tahun. Setelah PPMK tersebut ditandatangani, PT BGD menyetorkan Rp5,9 miliar ke rekening PT SLS untuk kegiatan pertambangan.
Oleh PT SLS dana dari PT BGD tersebut juga disetorkan kepada PT SLB untuk kepentingan penyewaan kapal senilai Rp1,7 miliar. “Ada dana yang disetorkan untuk penyewaan kapal,” kata Nunung.
Oktober 2016 kerjasama antara PT BGD dengan PT SLS tersebut berakhir. Namun PT SLS tidak menyetorkan keuntungan kepada PT BGD. Malah, modal milik PT BGD tidak dikembalikan PT SLS. Belakangan diketahui kerjasama tersebut tidak dikerjakan oleh PT SLS. “Kegiatan tambang tersebut tidak berjalan dan tidak ada kegiatan sampai dengan berakhirnya PPMK,” kata Nunung didampingi Kasubdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Banten Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Doffie Fahlevi Sanjaya.
Nunung mengatakan, PT BGD selaku badan usaha milik Pemprov Banten tidak mengatur PPMK. Namun aturan tersebut dilabrak direksi PT BGD dengan dalih pengembangan usaha. “PPMK tersebut tidak sesuai dengan AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga-red) dan SOP (standar operasional prosedur-red) di PT BGD,” kata Nunung.
Hasil audit dari BPK RI, kerugian negara dari KSO fikfif tersebut sebesar Rp5,225 miliar. Saat proses penyidikan, penyidik telah menyita uang sebesar Rp1,1 miliar dari Ilham dan A Fatoni direktur PT BGD saat ini. “Dari saudara IL (Ilham-red) kita sita Rp900 juta dan dari BGD-nya (A Fatoni-red) sebesar Rp200 juta,” kata mantan Kapolres Serang tersebut.
Selama proses penyidikan kasus tersebut, sebanyak 27 orang saksi telah dimintai keterangan. Penyidik juga telah memintai pendapat ahli dari keuangan negara, pertambangan dan perikatan. “Untuk ahli sudah empat yang kita mintai pendapatnya,” ucap mantan Direktur Polairud Polda Banten tersebut.
Ditambahkan Doffie Fahlevi Sanjaya, berkas perkara ketiga tersangka sudah dinyatakan lengkap oleh jaksa peneliti Kejati Banten. Sedangkan untuk perkara atas nama Subianto masih menunggu hasil pemeriksaan jaksa peneliti.
“Untuk satu tersangka sebentar lagi P21 (berkas perkara dinyatakan lengkap-red), kita sudah koordinasi dengan pihak kejaksaan. Kita tinggal mengambil surat P21,” kata Doffie.
“Kita juga masih koordinasi soal rencana waktunya. Kita menunggu kesiapan dari Kejati Banten karena kondisi saat ini (Covid-19) harus diperhatikan,” sambungya. (mg05/nda)