Sesulit melihat sesuatu di tengah kabut asap nan pekat, apa yang dialami Minten (35) nama samaran, memang tak bisa dianggap sepele. Lalai dalam mengawasi tingkah laku suami, sebut saja Jueng (39), kisah cinta mereka ternoda oleh sesuatu yang tak pernah disangka. Aih, memang kenapa sih, Teh?
“Kalau cuma saya ceritain, mungkin banyak yang enggak percaya. Tapi ini benar, kejadiannya pas saya usia 29 tahun dan Kang Jueng 33 tahun,” curhat Minten pada Radar Banten.
Semua bermula saat Minten memutuskan berhenti bekerja di salah satu perusahaan swasta di Kota Serang. Lelah setiap hari berangkat pagi pulang menjelang malam, ia tak bisa seperti kebanyakan pekerja pada umumnya. Katanya, sejak kecil, daya tahan tubuh Minten memang tak bagus dan bisa drop kapan saja.
Katanya sih, Minten punya penyakit tertentu yang tak mau diceritakan. Tapi meski begitu, kesehariannya selalu terlihat bugar dan ceria. Dengan wajah manis serta postur tubuh ideal, Minten muda memang termasuk wanita cantik yang dikejar banyak pria.
Menikmati statusnya yang tak lagi disibukkan dengan jadwal kerja, Minten menghabiskan uang tabungan untuk foya-foya. Maklumlah, meski terlahir dari keluarga sederhana, orangtua serta kakak-kakaknya tak pernah mengatur Minten dan cenderung membebaskan.
Sampai akhirnya, lantaran Minten anak ketiga dari empat bersaudara, terlebih adiknya sudah menikah dan hanya tinggal dirinya yang belum, orangtua pun meminta Minten segera menuju pelaminan. Curhatlah ia kepada teman tentang masalah yang terjadi. Tak disangka, salah satu temannya merekomendasikan Jueng. Widih.
“Ya meski saat itu saya enggak terlalu mikirin banget, tapi kalau ditanya kapan nikah setiap hari, pusing juga ini kepala. Akhirnya ya kenalan deh sama Kang Jueng,” katanya.
Seperti diceritakan Minten, Jueng sebenarnya lelaki baik. Terlahir dari keluarga sederhana, ia memiliki sikap lembut dan asyik saat diajak mengobrol. Kalau seudah begitu, pastilah Minten suka. Soalnya, Minten mengaku, tak perlu tampan dan kaya, asal bisa bikin nyaman, ia pasti menerima.
Setelah pendekatan sampai berani jalan berdua, tiga bulan setelahnya, Jueng menyatakan rasa. Mereka pun bersemi dalam ikatan cinta. Saling mengerti dan memahami sikap masing-masing, setahun kemudian, keduanya sepakat menuju pelaminan.
Bertemunya kedua keluarga, pertanda hubungan mereka memang tak hanya sensasi cinta remaja yang bisa berubah. Saling menerima dan mengerti keadaan sesama, ditentukanlah tanggal pernikahan. Sesaat setelah itu, Jueng bercerita kalau ia mempunyai sahabat wanita. Malamnya, dikenalkanlah oleh Minten. Aih, sahabat gimana, Teh?
“Ya kayak teman dari kecil gitu. Waktu itu dia juga ikut senang saya sama Kang Jueng mau menikah. Ya pokoknya semua enggak ada yang aneh,” ungkapnya.
Mengikat janji sehidup semati, Minten dan Jueng resmi menjadi sepasang suami istri. Di awal masa pernikahan, Jueng bersikap penuh perhatian. Seraya menjaga kelakuan agar terlihat baik di depan keluarga sang istri, dengan status karyawan tetap, ia sering membelikan makanan dan pakaian. Pokoknya, apa yang diminta istri, pasti dituruti. Widih, cari perhatian nih ye.
“Ya alhamdulillah, Kang. Pokoknya setelah menikah tuh, hidup saya serasa jauh lebih baik,” ungkap Minten.
Seiring berjalannya waktu, Minten pun melahirkan anak pertama. Membuat hubungan mereka semakin mesra. Berkat kehadiran sang buah hati, Jueng menjadi lebih leluasa tinggal bersama keluarga istri. Ia tak canggung lagi. Kebahagiaan pun datang dari sahabat Jueng, waktu itu sahabat wanitanya juga akan dipinang lelaki kampung sebelah.
Seminggu kemudian, mereka pun datang ke pernikahan sang sahabat Jueng. Saling bertegur sapa dan memancarkan keceriaan, semua berbaur dalam kebahagiaan. Namun, Minten mengaku, saat itu ada yang berbeda dari sikap dan sorot mata sang mempelai lelaki.
Apa yang ditakutkan pun terjadi juga. Seminggu setelahnya, kabar buruk itu datang. Sahabat wanita Jueng ditinggal pergi suaminya. Katanya sih, mereka menikah karena paksaan orangtua. Sejak saat itu, Jueng meminta izin untuk diberi waktu lebih bersama sahabat wanitanya itu.
“Waktu itu sih ya saya enggak ada kecurigaan sama sekali. Namanya juga sahabat lagi kena musibah, pasti butuh teman,” kata Minten.
Jadilah setiap hari Jueng mengunjungi rumah sahabat wanitanya. Awalnya sih masih bersama Minten, tapi sebulan kemudian, Jueng meminta tak usah ditemani. Datang seorang diri dan terkadang sampai menginap, Minten mencoba terus memaklumi meski hati penuh duri.
Sampai suatu hari, Jueng meminta izin pergi ke Jogja selama dua minggu lebih. Katanya sih ada urusan kerjaan. Meski sempat curiga karena tak biasanya urusan kerjaan sampai harus keluar kota, tetapi Minten lagi-lagi hanya bisa diam. Pergilah Jueng meninggalkan Minten dan buah hati.
Saat masa-masa itulah, semua kebenaran terkuak. Saat sedang duduk-duduk di teras rumah, salah seorang tetangga mendekat dan bilang kalau sahabat wanita Jueng frustasi dan pergi entah ke mana. Waktu itu bertepatan dengan kepergian Jueng ke Jogja. Timbullah kecurigaan.
Ditelepon tak diangkat, di-SMS pun tak dibalas. Dua minggu kemudian, apa yang dikhawatirkan pun jadi kenyataan. Jueng pergi bersama sahabat wanitanya. Usut punya usut, ternyata, apa yang Jueng bilang sahabat lama itu bohong. Katanya, mereka dahulu ialah teman tapi mesra. Astaga, kok bisa tahu, Teh?
“Ya sepulang dari Jogja saya ambil handphone dia, dan benar, semua chating-annya mesra. Setelah saya ke teman-teman dia juga benar, dulu mereka punya hubungan spesial,” kata Minten.
Nasi sudah menjadi bubur, kayu sudah menjadi abu, semua kebohongan dan kesalahan tak bisa diubah ulang. Perceraian pun jadi jalan atas puncak kemarahan di hati Minten. (daru-zetizen/zee/ags)