SERANG – Kepala SMA/SMK negeri di Banten sedang kewalahan. Mereka kekurangan dana operasional sekolah lantaran tak diperbolehkan memungut dari masyarakat. Sementara, dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang digulirkan pemerintah pusat dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan kegiatan belajar mengajar (KBM). Terlebih lagi, bantuan operasional sekolah daerah (bosda) yang akan digulirkan Pemprov Banten tak kunjung ada.
Seorang kepala sekolah di Kota Serang yang enggan disebutkan namanya mengaku harus mencari dana talangan ke sana ke mari untuk menutupi kebutuhan pendidikan di sekolahnya. “Lalu kami harus bagaimana. Mungut dari masyarakat tak boleh, tapi bosda enggak cair,” tandasnya, Minggu (29/4).
Ia mengungkapkan, dana BOS dari pemerintah pusat sekira Rp1,4 juta per siswa per tahun tak cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah. Apalagi, apabila dihitung secara ideal, kebutuhan dana per siswa per tahun mencapai Rp4,5 juta sampai Rp5,5 juta.
Kata dia, apabila kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin sekolah akan koleps. “Kalau memang kebijakannya sekolah gratis per tahun ajaran baru, partisipasi dari masyarakat saat ini tak masalah. Tapi ini kan tidak,” lirihnya.
Menanggapi itu, Ketua Komisi V DPRD Banten Fitron Nur Ikhsan mengatakan, Gubernur Banten Wahidin Halim memang seharusnya melakukan kajian yang baik sebelum merancang kebijakan. “Soal pendidikan adalah soal tactical investment, sebuah investasi yang dampaknya akan dirasakan di masa depan,” ujarnya.
Ia mengatakan, pendidikan bukan hanya soal akses, tapi juga soal mutu dan manajemen. Jika hanya akses kebijakan pendidikan gratis memang akan membuka kesempatan anak bangsa untuk bisa sekolah. “Tapi bagaimana dengan ketersediaan ruang kelas? Bagaimana dengan kebutuhan unit sekolah baru? Belum lagi soal mutu,” tandas politikus Golkar ini.
Kata dia, gratis memungkinkan anggaran tersedot besar untuk kebutuhan menutupi biaya yang harusnya secara gotong royong ditanggung masyarakat. Bagaimana sekolah bisa secara kreatif berinovasi meningkatkan mutu pendidikan lantaran gratis dan tak boleh ada keleluasaan sumbangan akan membuat sekolah terpaku pada mutu yang flat.
“Pertanyaannya, apakah bisa pemerintah menutupi kebutuhan sekolah secara ideal? Hemat saya ga mungkin. Kebutuhan kita bukan hanya pendidikan. Ada bidang lain yang tak kalah penting,” ujar Fitron.
Ia mengatakan, BOS dan bosda seharusnya hanya sebagai stimulan, sementara kebutuhan mutu dapat dibebankan kepada masyarakat sesuai dengan inovasi yang dilakukan sekolah. Apalagi, sekolah yang tahu kekuatan sumber daya manusia. “Sekolah berbeda-beda kualitas dan inovasinya. Tidak boleh dipaksa,” tandasnya.
Fitron menegaskan, larangan adanya kontribusi dari masyarakat tanpa solusi hanya akan membuat kepala sekolah patuh tapi dengan mengeluh. Sudah banyak masyarakat pendidikan yang mengeluhkan hal ini. Tapi siapa berani? Jangankan kepala sekolah mau melawan, menyampaikan pandangan ke gubernur saja pasti takut. “Pastilah mereka takut diganti. Situasi tanpa dialog seperti ini menjauhkan esensi pendidikan itu sendiri, pendidikan itu memerdekakan masyarakat pendidikan untuk berdialog,” ujarnya.
Kata dia, tanpa dialog bukan tradisi edukasi. Justru keunggulan edukasi itu adalah membuka ruang diskusi dan dialog. Ia mengaku, Komisi V pesimistis kebijakan ini bisa berjalan lantaran yang akan terancam adalah mutu pendidikan. “Untuk apa pendidikan tanpa mutu? Bahaya bagi anak anak kita yang akan menghadapi dunia yang makin kompetitif,” tandas Fitron.
Untuk itu, tambahnya, sikap Komisi V jelas yakni menolak kebijakan gubernur lantaran hingga hari ini Wahidin Halim dinilai tidak tegas. “Mana gubernur mencabut pergub terdahulu. Yang membolehkan sumbangan. Pergub (peraturan gubernur) lama tak dicabut, tapi instruksi dan ancaman diberlakukan. Buat dulu pergub larang sumbangan dengan tegas. Kan itu tidak dilakukan sama Pak Gubernur,” ujarnya. Artinya, Pergub yang ditanda tangan Gubernur Banten sebelumnya Rano Karno masih berlaku. “Masa, kebijakan hanya lisan?” ungkapnya.
Fitron menyarankan untuk membuat cluster, yakni pendidikan gratis hanya untuk yang miskin. “Yang miskin juga kita cluster. Ada yang miskin dengan gratis 30 persen, 50 persen, dan 100 persen,” terangnya.
Kabupaten kota menetapkan standar maksimum sumbangan. Misalnya, Kota Tangerang Selatan tentu beda dengan Kabupaten Lebak. Untuk menetapkan itu, lanjutnya, Gubernur harus membuat kajian dengan mengajak bicara kepala sekolah dengan saksama. “Hari gini bukan waktunya kebijakan itu berdasarkan selera, kebijakan tidak hanya boleh baik dan mulia niatnya. Tapi kebijakan itu harus terukur dan tepat tujuannya,” ujar Fitron.
Ia berharap, kebijakan tidak mengedepankan ego pribadi. “Kebijakan kalau sudah pokoknya itu susah. Ruang dialog tertutup rapat. Kita tidak akan menemukan formula yang tepat kalau begitu,” tuturnya. Komisi V terlalu berisiko harus menentang kebijakan ini. Hanya saja, kondisi lapangan mengharuskan pihaknya menyampaikan hal ini meskipun pahit lantaran ini soal masa depan. “Bukan kebijakan hari ini untuk hari ini, tapi kebijakan hari ini yang dampaknya di masa depan,” ujar Fitron. (Rostinah/RBG)