Siapa yang tidak mengenal Bulan Safar. Bulan yang konon ditakuti warga karena banyak hal buruk yang bakal menimpa. Contoh mitos, jika anak lahir di bulan Safar maka anak tersebut cenderung nakal, emosional, dan temperamental.
Benarkah anggapan yang telanjur melekat di masyarakat tersebut? Inilah penjelasan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Serang, Amas Tadjudin.
Menurutnya, tradisi Rebo Wekasan yang jatuh pada hari Rabu akhir di bulan Safar bersumber dari dua kitab populer di kalangan pesantren, yang pertama kitab Dairobi, kedua kitab Kanzun Najah Wassuurur.
Kata dia, di dalam dua kitab ini bersumber dari pengarang kitab Min Ahlil Kashdi wa tamkin Syaikh Abdul Hamid Al-Quds salah satu imam besar Masjidil Haram. Berdasarkan pengetahuan, pengalamannya.
Diceritakan dalam kitab tersebut, bahwa terdapat 320 ribu jenis penyakit bala yang diturunkan Allah SWT untuk menguji makhluk di muka bumi, dan dari 320 ribu itu bisa berkembang berlipat sehingga jumlahnya jauh lebih banyak lagi. “Oleh karena itu, para ulama tassawuf, ulama bijak dianjurkanlah dan dibuat konsep cara menolak bala,” katanya.
“Yang dimaksud menolak bala itu dirumuskanlah salat empat rakaat dengan dua rakaat, dua rakaat. Pada hari Rabu terakhir bulan Safar di waktu dhuha. Maka, orang Jawa menyebutnya Rebo Wekasan,” tambah Amas.
Kata dia, dalam isi salat tidak ada perdebatan, karena yang dimaksud tolak bala adalah salat niat, salat hajat atau salat mutlak yang ditujukan untuk menolak bala atau menjauhkan dari bala petaka dan penyakit yang akan menggangu kehidupan manusia seperti Covid-19. “Maka Ponpes di nusantara khusus di Provinsi Banten, ulama salafi terdahulu hingga kini melaksanakan salat Rebo Wekasan, artinya salat dua rakaat, dua rakaat atau salat tolak bala,” katanya.
“Niatnya sepanjang tidak kontroversial, karena salat hajat dan salat mutlak tidak mengenal waktu. Itu berdasarkan anjuran dari kitab,” katanya.
Amas menjelaskan, berdasarkan hadist nabi bahwa akan datang 320 ribu penyakit pada hari Rabu di akhir bulan Safar. Maka, dianjurkan untuk sedekah. Karena sedekah itu manfaatnya dapat menolak dosa.
“Berbentuk apa pun sedekahnya, seperti makanan, minuman dan lain-lain,” katanya.
Kemudian, di Rebo Wekasan dianjurkan agar ikhtiar mengarah penolakan bala, seperti mandi bebersih, membuat bacaan atau wafak (tulisan Alquran) sebagai wasilah sehingga menjadi penolak bala. “Mandi kembang tujuh rupa itu bermakna spiritualistik, sepanjang diniatkan untuk mandi membersihkan diri lahir dan batin diniatkan karena Allah SWT itu tak masalah,” katanya.
“Soal kembang berupa-rupa dan berwarna-warna anggap saja itu ramuan-ramuan atau rempah-rempah yang hendak dipakai mandi. Seperti, honje, daun salam, dan kembang-kembangan,” beber Amas.(Fauzan Dardiri)