Ramai-ramai Usulkan Pengurangan Lahan Pertanian
SERANG – Ketahanan pangan di Banten terancam. Hal itu karena seluruh pemerintah kabupaten kota di Banten ramai-ramai mengusulkan pengurangan lahan pertanian di daerahnya masing-masing.
Dengan berkurangnya lahan pertanian, produksi beras juga diperkirakan akan mengalami penurunan. Bahkan, jumlahnya akan defisit untuk menutupi kebutuhan beras masyarakat Banten.
Anggota Komisi IV DPR RI Nuraeni mengaku, belum lama ini melakukan rapat dengar pendapat bersama Kementerian Pertanian (Kementan). Pembahasannya mengenai alih fungsi lahan akibat usulan pemerintah daerah untuk mengurangi kawasan pertanian. “Dan cukup mengejutkan. Di Banten, saya mendapatkan data bahwa mayoritas pemerintah kabupaten kota mengusulkan pengurangan lahan pertanian. Seperti di Kota Tangsel lahan pertaniannya minta di-nol-kan,” ujar Nuraeni kepada Radar Banten, kemarin.
Menurutnya, jika hal itu benar-benar terjadi maka ancaman ketahanan pangan di Provinsi Banten akan terjadi. Bayangkan saja, kata dia, di Kota Serang seperti di Curug diusulkan untuk mengurangi lahan pertanian. “Juga terjadi di wilayah Pandeglang dan Lebak, karena terdampak proyek strategis nasional seperti jalan tol. Ini jelas akan mengancam ketahanan pangan di Banten ke depannya,” jelasnya.
Nuraeni merasa, daerah-daerah yang menjadi lumbung pangan harus benar-benar dijaga. Nuraeni meminta agar pemerintah provinsi atau pun pemerintah pusat tidak dengan mudah menyetujui perubahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dari daerah.
“Jangan tergiur investasi. Nanti persetujuannya (perubahan RTRW) ada di Kementerian Pertanian dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR),” harapnya.
LAKUKAN KAJIAN.
Sejumlah kajian sedang dilakukan Dinas Pertanian (Distan) Provinsi Banten. Kepala Distan Agus M Tauchid mengatakan, luas kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B) berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Badan Pertanahan Nasional (BPN), luas lahan pertanian di Banten saat ini 198.283,76 hektare.
“Namun, berdasarkan kajian Unpad (Universitas Padjajaran-red), luas aktual lahan pertanian di Banten 201.618,74 hektare,” ujar Agus di ruang kerjanya, Rabu (4/12).
Agus mengatakan, belum lama ini pihaknya melakukan kajian alih fungsi lahan serta pengendalian dan pemetaan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Kegiatan tersebut bekerja sama dengan Unpad.
Dengan kondisi itu, ia mengatakan, Unpad menawarkan tiga skenario luas lahan yang disesuaikan dengan usulan perubahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten kota.
Agus menerangkan, dengan luas lahan pertanian yang ada saat ini, produksi beras di Banten tahun 2018 sebanyak 961.367,97 ton. Sedangkan kebutuhannya 1.294.484 ton. “Kami hitung, tahun 2025 nanti kebutuhan beras 1.533.121 ton,” terangnya.
Kata dia, dengan skenario pertama yang ditawarkan Unpad, yakni luas KP2B sebesar 191.660,04 hektare, maka produksi beras pada 2025 mencapai 1.401.343,55 ton. Dengan begitu, ada defisit beras sebesar 131.777,45 ton jika dibandingkan dengan kebutuhan.
Untuk skenario kedua, dengan luas KP2B sebesar 150.991,58 hektare, maka produksi beras mencapai 1.074.232,35 ton. Produksi beras juga defisit 458.888,65 ton.
Sedangkan untuk skenario tiga dengan luas lahan 118.182,31 hektare, maka produksi beras hanya sebesar 767.945,2 ton. Maka, defisitnya mencapai 765.175,8 ton. “Tingkat produksi di skenario pertama ini, ada tiga daerah yaitu Kabupaten Serang, Lebak, dan Pandeglang mengalami surplus. Meski surplus, ketiga daerah itu belum bisa menutup defisit di lima daerah lainnya di Banten,” terangnya.
Ia mengungkapkan, dari ketiga skenario tersebut, pemerintah kabupaten kota di Banten memilih skenario ketiga pada hasil rapat koordinasi dengan kabupaten kota 19 November lalu. Namun, berdasarkan hasil evaluasi dan fasilitasi perlindungan LP2B di Jogjakarta pada 25-27 November kemarin, Kementerian Pertanian (Kementan) menyarankan untuk mengambil skenario kedua.
Agus mengaku, kemarin pihaknya sudah menyampaikan hasil rapat koordinasi dengan pemerintah kabupaten kota dan hasil evaluasi Kementan ke Kanwil ATR BPN Provinsi Banten. “Nanti tinggal ditanggapi. Kami akan tunduk apa pun hasilnya karena kita menggunakan data tunggal, yakni dari ATR BPN,” tegas alumnus Unila itu.
Ia mengaku apabila KP2B sudah ditetapkan ATR BPN, maka akan ditetapkan menjadi peraturan daerah (perda). Rencananya, produk hukum daerah itu akan diajukan dan dibahas pada 2020. “Jadi kabupaten kota yang mau merevisi RTRW-nya harus menunggu dari provinsi dulu,” tuturnya.
Terkait dengan potensi defisit beras yang cukup besar pada 2025, Agus mengaku sudah menyiapkan antisipasinya. Salah satunya dengan meningkatkan provitas padi menjadi tujuh hingga delapan ton per hektare.
“Saat ini provitas padi di Banten rata-rata baru mencapai lima ton per hektare,” ujarnya.
Kata dia, apabila sudah ada ketetapan KP2B, pihaknya bisa melakukan rekayasa teknologi dan sosial. Dengan berapa pun luas KP2B dari ketiga skenario itu, apabila provitas meningkat, maka sudah luar biasa. Untuk mencapai provitas tujuh sampai delapan ton masih sangat mungkin.
“Kami akan gunakan teknologi, misalnya memaksimalkan bendungan dan irigasi karena lahan pertanian yang diusulkan untuk dialihfungsikan adalah sawah tadah hujan,” terangnya. Selain Pemprov Banten, pemerintah pusat tentu akan memberikan kompensasi terkait alih fungsi lahan.
Agus mengaku, tidak mengetahui secara detail lahan pertanian yang dialihfungsikan akan digunakan untuk kepentingan apa. Yang pasti, luas lahan pertanian saat ini masih sangat luas sesuai dengan hasil kajian aktual Unpad.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten Babar Suharso mengatakan, agar pertanian di Banten semakin kuat, Pemprov telah menyiapkan badan usaha milik daerah (BUMD Agrobisnis).
“Suplai utama bisnis BUMD Agrobisnis akan diperoleh dengan menyerap panen dari para petani. BUMD Agrobisnis nantinya akan menjadi mitra para petani sehingga tak lagi terjerat oleh tengkulak,” ujarnya. (nna/air/ira)