BUAH ketidaksabaran warga Pandeglang, Jenong (31), nama samaran, berbuntut penyesalan. Dipicu kekesalan terhadap suaminya, sebut saja Akong (32) yang memiliki sifat pemalas. Profesinya hanya menggeluti hobi yang dinilai tidak komersil, yakni menjaga studio musik warisan orangtua.
Kondisi itu, memaksa Jenong yang sudah dikaruniai satu anak itu, memilih bercerai dan menyandang status janda muda. Jenong mengaku, melayangkan gugatan cerai terhadap Akong karena sudah tak tahan. Nafkah yang didapat suaminya itu, dinilai tak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Untuk menghidupi anak istrinya, penghasilan Akong didapat dari kedatangan para pemain band yang ingin menyewa studio.
“Pendapatan dari studio musik itu kecil. Enggak lebih dari Rp100 ribu sehari. Dipotong biaya operasional, sisanya paling cukup buat makan doang,” keluhnya. Iya hidup kan buat nyari makan Mbak.
Lantaran itu, Jenong tak pernah punya kesempatan untuk menabung. Karena pendapatan Akong tak tentu, kadang naik kadang turun. Malah pendapatan Akong semakin lama semakin menurun, seiring semakin banyaknya saingan studio lain yang fasilitasnya lebih lengkap dan mampu memuaskan penyewa studio.
Kondisi itu pun, memengaruhi keuangan Jenong yang terus dilanda ekonomi sulit. Lantaran itu, Jenong memilih menyudahi rumah tangganya. Meskipun, selama kenal lelaki, Jenong mengaku, tak pernah mencintai sedalam cintanya terhadap Akong yang terjalin sejak SMA.
Jenong meninggalkan Akong dengan membawa anak semata wayangnya kembali ke rumah orangtua. Namun, dua tahun berlalu, Jenong merasakan penyesalan teramat dalam. Karena, ternyata usaha Akong di bidang musik maju pesat. Akong seketika berubah menjadi orang kaya baru dari hasil menggeluti hobinya sebagai seniman. Seniman benar ya, bukan senang nipu teman!
“Sekarang saya nyesal Mas sudah ninggalin suami. Padahal, saya masih sayang,” akunya dengan mata berkaca-kaca dan tampak sayu. Sayu itu maksudnya sayang uang. Hehehe.
Apalagi, menyadari Akong sekarang menjadi ayah yang bertanggung jawab terhadap anaknya. Yakni, rutin memberikan nafkah tiap bulan lebih dari cukup, membuat Jenong semakin meratapi penyesalan pernah meminta pisah. Kini, Jenong pun hanya bisa berharap Akong bisa memaafkan perbuatannya dan kembali kepelukannya.
“Andai diberi kesempatan kedua, enggak bakalan saya sia-siain lagi,” tegasnya. Ngarep.
Keakraban Jenong dan Akong sudah terjalin sejak SMA. Namun, di usia masing-masing yang masih belia saat itu, status mereka hanya teman biasa. Masing-masing sudah mempunyai pacar. Hanya saja, pertemanan mereka kerap dimanfaatkan sebagai ajang curhat-curhatan dan pelipur lara. Makanya, ketika mereka dipertemukan kembali menjelang dewasa setelah berpisah lama sejak SMA, tak perlu lama bagi keduanya membangun chemistry.
“Sekarang Akong beda, lebih dewasa. Makanya, kok lama-lama jadi demen,” terangnya. Asal jangan pagar makan tanaman aja.
Merasa nyambung dan kebetulan keduanya tengah menyandang status jomblo, mereka pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Semakin intensnya komunikasi dan jalan bareng, sebulan kemudian mereka pun sepakat untuk jadian.
“Lagian, Akong kan lumayan ganteng. Keluarganya juga lumayan tajir,” ungkapnya. Eeaaa… ketahuan kan matre.
Awalnya, Jenong hanya terkesan dengan sifat dan karakter Akong yang gaul dan pandai bermain segala alat musik. Maklum, selama mereka berteman saat SMA, Jenong tak pernah tahu kalau Akong ahli di bidang permainan suara tersebut. Terutama, alat musik drum yang sering dimainkan Akong bersama grup bandnya. Atau lebih dikenal sebagai drummer.
Merasa ada kecocokan, keduanya sepakat melanjutkan hubungan ke arah lebih serius. Yakni, pernikahan dan membangun bahtera rumah tangga. Jenong yang berprofesi sebagai pramuniaga di mal, menerima Akong yang saat itu belum memiliki pekerjaan tetap alias pengangguran. Hanya mengandalkan penghasilan dari orang yang merental studio warisan orangtuanya.
“Pertama nikah sih, penghasilan dari sewa studio masih cukup. Pas punya anak makin kewalahan. Kebutuhan makin membengkak, terutama buat anak. Boro-boro bisa menabung, bisa makan saja sudah untung,” ungkapnya. Bukannya Akong berasal dari keluarga tajir?
“Iya memang, tapi semenjak ditinggal kedua orangtuanya sudah enggak ada yang bantu ekonomi Akong. Saudaranya juga sudah berpencar, jadi masing-masing. Warisannya cuma studio doang,” jelasnya. Oh begono.
Merasa semakin terhimpit ekonomi, Jenong lama-lama gerah. Apalagi, Akong tak pernah mau menuruti nasehat Jenong untuk mencari kerja selain hanya terpaku di rumah menjaga studio. Alasannya, Akong tidak percaya diri mencari kerja, karena ijazahnya hanya lulusan SMP. Sekolah Akong di jenjang SMA tidak sampai selesai, karena Akong diam-diam dikeluarkan pihak sekolah karena dulu sering absen sekolah tanpa alasan. Meskipun dinilai beralasan, tapi Jenong kesal dengan sikap Akong yang tidak punya niat untuk berusaha mencari penghasilan tambahan.
“Kalau dinasihati, dia entengnya bilang ‘sabar’, nanti juga ada waktunya. Pikir saya, memang sabar bisa bikin perut kenyang! Kesal kan jadinya,” ujarnya.
Jenong tidak pernah menyangka jika kesabaran Akong membuahkan hasil yang luar biasa. Setelah diceraikan Jenong, Akong sepertinya termotivasi untuk berbuat lebih demi mempertahankan hidupnya. Akong diketahui mendapatkan tambahan amunisi dari saudara-saudaranya yang memiliki kehidupan lebih mapan. Hobi yang digelutinya di bidang musik mulai dikembangkan. Akong diberi modal untuk membeli peralatan studio lebih lengkap. Bahkan, sampai menyediakan panggung dan sound system untuk disewakan untuk acara gede-gedean. Akong pun sukses mengembangkan usahanya tak lebih dari satu tahun.
“Pokoknya, Akong sekarang berubah 180 derajat. Untungnya, dia lebih perhatian sama anak. Cuma ke saya bicara seperlunya,” ketusnya. Ow ow ow, sabar ya Mbak. Yang penting ke anak masih sayang.
Kini Akong tampil beda. Akong makin kece dan perlente. Ke mana-mana membawa roda empat. Akong sudah tidak lagi seperti dulu. Mengantar Jenong ke mana-mana hanya menggunakan motor kesayangannya, yakni bebek 70-an yang sering mogok.
“Saya senang dengan perubahan Akong. Tapi, saya juga nyesel, kenapa dulu mutusin pisah. Coba kalau bertahan,” harapnya. Mungkin enggak jodoh aja kali Mbak. Bertahan juga, belum tentu berubah.
“Iya juga sih. Tapi, enggak apa-apa lah. Yang penting ke anak masih ingat,” tandasnya.
Tuh kan. Makanya, jangan underestimate (memandang rendah) dulu sama orang. Tuhan itu tidak tidur, bisa mengubah nasib seseorang semudah membalikkan tangan. Ya salam. (Nizar S/Radar Banten)