NENENG (27), nama samaran, tampak kusam dan lemas saat ditemui di teras rumahnya. Awalnya, ia malu-malu saat kedatangan wartawan. Setelah dijelaskan maksud dan tujuan, akhirnya Neneng pun berkenan menceritakan kisah rumah tangganya.
Neneng dan suaminya, sebut saja Nanang (30), yang dikenalnya sejak SMA memang belum bercerai, melainkan baru tahap pisah ranjang. Namun, biduk rumah tangga yang dijalani Neneng dengan Nanang terbilang pahit, sepahit empedu. Kondisi itu, memaksa Neneng kabur dari kontrakan dan meninggalkan Nanang.
“Iya, saya lagi pisah ranjang. Biasalah Mas, tak jauh dari masalah ekonomi,” ungkap Neneng.
Wajar Neneng bilang demikian, profesi suaminya hanya tukang ojek. Penghasilannya tidak menentu, kadang pulang hanya membawa cerita, bukan uang untuk membeli beras atau sebongkah berlian. Meski demikian, Neneng sama sekali tidak memandang bahwa profesi suaminya itu rendah. Ia pun mau menerima Nanang apa adanya dan menerima nasibnya menjadi seorang istri tukang ojek. Walaupun tadinya, kehidupan Neneng tidak sepahit itu. Sebelumnya, Nanang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan telekomunikasi. Penghasilannya jelas setiap bulan, masih bisa menutupi kebutuhan keluarga.
“Saya enggak tahu apa yang merasuki pikiran Mas Nanang sampai keluar dari kerjaannya dulu. Padahal, ekonomi kita tadinya lumayanlah, enggak terlalu sering dikejar penagih utang,” terangnya. Dikejar yang nagih utang, tinggal bayar saja sih Mbak. “Boro-boro bayar, buat beli beras saja susah,” keluhnya.
Neneng menghargai keputusan Nanang keluar dari pekerjaanya pada 2013 lalu. Namun, Neneng sering mengingatkan Nanang agar berpikir ulang sebelum membuat keputusan. Jangan sampai alasan pekerjaan yang sudah membuat Nanang merasa tidak nyaman, sampai mengorbankan anak istri di rumah. Walau bagaimanapun, anak istri butuh makan dan keperluan lainnya sehari-hari.
Tapi sepertinya tekad Nanang sudah bulat. Usut punya usut, niat Nanang keluar kerja akibat dipengaruhi tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek, sebut saja Midun (37).
“Pokoknya, sejak pindah kontrakan, Mas Nanang cepat akrab dengan Pak Midun. Nah, setiap pulang kerja, Mas Nanang jadi sering ngerumpi di luar kontrakan bareng Midun. Enggak tahu bahas apa,” terangnya.
Sejak itu tabiat Nanang berubah dan ingin mengikuti jejak Midun. Terlebih, Nanang kerap melihat hampir setiap minggunya, Midun dan keluarganya belanja barang. Sementara Nanang hanya bisa mengajak belanja dan jalan-jalan istrinya, satu bulan sekali. Seolah-olah kehidupan Midun dan keluarga lebih sejahtera. Padahal, sama-sama tinggal di kontrakan. Hal itulah yang membuat Nanang terjebak dan terbuai dengan rayuan Midun untuk mengikuti profesinya.
Kontrakan belum genap dua bulan pindah, Nanang tiba-tiba menyampaikan niatnya untuk keluar dari pekerjaannya dan memilih profesi sebagai tukang ojek. “Alasannya sudah enggak nyaman di tempat kerja. Terus, dia lihat tetangga sebelah banyak duitnya dari ngojek. Dia enggak mikir apa, kalau motor masih kredit,” jelasnya ketus.
Sampai akhirnya, Nanang pun mengikuti Midun menjadi penjual jasa antar jemput pelanggan. Benar saja apa yang pernah dikatakan Neneng, keputusan Nanang menjadi penjual jasa menjadi awal petaka keretakan rumah tangga mereka. Awal-awal Nanang masih bisa membawa pulang uang untuk membeli beras. Sehari dapat sekira Rp50 ribu. Kalau sampai lembur tengah malam, bisa dapat Rp75 ribu sampai Rp100 ribu. Soal urusan di ranjang jangan ditanya, karena hubungan keduanya memang didasari rasa cinta sejak SMA.
Namun, lama-lama Neneng mulai kewalahan. Uang dari Nanang dirasa tak cukup untuk membayar kredit motor, kontrakan, listrik, sampai bayar air bulanan. Tidak sampai di situ, bekal anak ke sekolah pun terlantar. Lantaran terdesak kebutuhan itu, Neneng jadi sering mengutang ke warung. Nanang juga berubah menjadi tak mau tahu urusan di rumah. Yang penting, sebelum berangkat kerja dan pulang kerja, makanan harus sudah tersedia.
“Saya beli beras sama sayur untuk sekali makan saja bisa sampai Rp50 ribu. Kita kan makan tiga kali, belum kebutuhan dapur lainnya. Rp100 ribu juga mana cukup? Dulu masih bisa tuh,” jelasnya.
Neneng semakin dibuat kesal dengan ulah Nanang yang sering menyalahkannya. Neneng dinilai tidak becus mengatur keuangan. Padahal, jelas-jelas uang yang diberikan Nanang tidak cukup. Bahkan tak jarang hasil pulang mengojek, Nanang tidak membawa uang sepeser pun. Alasannya, uang dari penumpang habis untuk beli bensin. Setelah ditelisik, betapa geram Neneng mengetahui bahwa uang hasil mengojek kerap digunakan untuk membeli minum-minuman keras dengan rekan seprofesinya. Pengaruh buruk dari rekan-rekannya pula membuat Nanang ketagihan dan sering menghabiskan uang dari hasil keringatnya hanya untuk sebotol, dua botol minuman.
“Saya marahi Mas Nanang karena kesal, eh dia malah balik marah. Bahkan, sekarang suka berlaku kasar. Padahal, saya cuma ingin mengingatkan kalau kesenangan dia sudah buat anak istri di rumah kelaparan,” ujarnya.
Bukannya menyadari perbuatannya yang salah, tingkah Nanang malah semakin beringas. Nanang setiap hari sering pulang ke rumah pada saat menjelang subuh tanpa membawa sepeser pun receh terselip di kantongnya, salat juga sudah tidak pernah.
Paginya, penagih utang berdatangan. Ternyata, Nanang menjadi sering meminjam uang sana-sini tanpa sepengetahuan Neneng. Melihat kondisi itu, Neneng tak tahan, karena barang-barang juga ludes dijual. Situasi serupa juga dialami Midun, tetangganya. Barang-barang yang sering Midun bawa ke rumah kontrakan, banyak yang ditarik petugas leasing yang datang ke rumah.
“Tuh kan benar apa saya bilang. Dari dulu saya enggak setuju dia keluar kerja, terus ngojek. Kalau sakit bagaimana? Siapa yang mau nanggung, siapa yang mau cari nafkah?” ucapnya.
Diceramahi begitu, Nanang malah semakin naik pitam dan berani berbuat kasar terhadap Neneng dan anaknya. Neneng pun akhirnya memutuskan lebih baik pergi dari kehidupan Nanang dan pulang ke rumah orangtua agar anaknya masih bisa tetap bersekolah.
“Capek Mas, hidup miskin tuh ternyata pahit ya,” geramnya.
Sebulan sudah Nanang tidak datang atau sekadar memberi kabar sejak kepergian Neneng. Entah pulang juga ke rumah orangtuanya, entah lupa, ataukah sengaja, Neneng mengaku sudah tidak sedikit pun memikirkannya. “Yang penting, saya masih bisa bantu orangtua mencuci dan menyetrika di rumah supaya anak masih bisa sekolah,” pungkasnya. Sabar ya Mbak. Insya Allah, hidup yang lebih baik akan menghampiri Mbak kelak. Amin. (Nizar S/Radar Banten)