JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.
Mahkamah Agung menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang sebagian diberlakukan pemerintah sejak tahun lalu dan sebagian tahun ini batal.
Keputusan MA terkait permohonan uji materi yang diajukan Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir pada 2 Januari 2020. Adapun permohonan JR tersebut bernomor perkara 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materil.
Dikutip dari laman MA di Jakarta, Senin (9/3), uji materi yang diajukan Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir diputus hakim agung Yosran, Yodi Martono Wahyunadi, dan Supandi.
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mengajukan uji materi Perpres Nomor 75 Tahun 2019 karena menilai kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen tidak disertai alasan logis. Menurut komunitas itu, Perpres 75 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan mengatur iuran peserta bukan penerima upah ( PBPU ) dan peserta bukan pekerja (BP) menjadi sebesar Rp42 ribu per orang per bulan dengan manfaat pelayanan ruang perawatan kelas III, Rp110 ribu dengan manfaat ruang perawatan kelas II dan Rp 160 ribu dengan manfaat ruang perawatan kelas I. Besaran iuran tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2020.
Dalam putusannya, MA juga menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28 H jo Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e, Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Kemudian juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 huruf b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, serta Pasal 4 jo Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dengan dibatalkannya pasal di atas, maka iuran BPJS kesehatan kembali ke iuran semula, yaitu Rp25.500 untuk kelas III, Rp51 ribu untuk kelas II, dan Rp80 ribu untuk kelas I.
Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani juga menyatakan akan mengkaji kembali keputusan MA terkait iuran BPJS Kesehatan. “Jadi kalau sekarang dengan hal ini, adalah suatu realitas yang harus kita lihat. Kita nanti kita review lah, ya…,” ujarnya di Istana Negara Jakarta, Senin (9/3), dilansir JawaPos.com.
Menurutnya, pemerintah akan melihat dampak keseluruhan dari keputusan MA tersebut. “Ya ini kan keputusan yang memang harus lihat lagi implikasinya kepada BPJS gitu ya. Kalau dia secara keuangan akan terpengaruh ya nanti kita lihat bagaimana BPJS Kesehatan akan bisa sustain,” jelasnya.
Sri Mulyani kembali mengingatkan, tujuan dari kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tak lain untuk memberikan fasilitas layanan kesehatan kepada seluruh masyarakat. Namun sayangnya, badan yang mengurus pelayanan sosial tersebut mencatat keuangan yang merugi hingga saat ini.
“Kondisi keuangan BPJS meskipun saya sudah tambahkan Rp 15 triliun dia masih negatif, hampir sekitar Rp 13 triliun (defisitnya),” tegasnya.
Sementara itu, pihak BPJS Kesehatan sampai saat ini belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung terkait dengan pemberitaan yang beredar bahwa Mahkamah Agung mengabulkan judicial review terkait Perpres 75 Tahun 2019.
“Sampai saat ini BPJS Kesehatan belum menerima salinan hasil putusan Mahkamah Agung tersebut, sehingga belum dapat memberikan komentar lebih lanjut, “ kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf melalui keterangan tertulis kepada Radar Banten, Senin (9/3).
Iqbal menambahkan, saat ini BPJS Kesehatan belum bisa mengonfirmasi kebenaran isi putusan MA tersebut dan mempelajari hasilnya jika sudah diberikan. Apabila hasil konfirmasi sudah didapatkan dan teruji kebenarannya, BPJS Kesehatan akan melakukan koordinasi dengan kementerian terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Pada prinsipnya BPJS Kesehatan akan mengikuti setiap keputusan resmi dari Pemerintah,” tandas Iqbal. (aas)